SUSUNAN DALAM SATU NASKAH
UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR
DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2007
MENGENAI KETENTUAN UMUM PERPAJAKAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini, yang dimaksud dengan :KETENTUAN UMUM
Pasal 1
1. | Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. |
2. | Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. |
3. | Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. |
4. | Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean. |
5. | Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya. |
6. | Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. |
7. | Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini. |
8. | Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender. |
9. | Bagian Tahun Pajak adalah bagian dari jangka waktu 1 (satu) Tahun Pajak. |
10. | Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau dalam Bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. |
11. | Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. |
12. | Surat Pemberitahuan Masa adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Masa Pajak. |
13. | Surat Pemberitahuan Tahunan adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak. |
14. | Surat Setoran Pajak adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. |
15. | Surat ketetapan pajak adalah surat ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar. |
16. | Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar. |
17. | Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan. |
18. | Surat Ketetapan Pajak Nihil adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak. |
19. | Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang. |
20. | Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda. |
21. | Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak. |
22. | Kredit Pajak untuk Pajak Penghasilan adalah pajak yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak ditambah dengan pokok pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak karena Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar, ditambah dengan pajak yang dipotong atau dipungut, ditambah dengan pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri, dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak, yang dikurangkan dari pajak yang terutang. |
23. | Kredit Pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai adalah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan setelah dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak atau setelah dikurangi dengan pajak yang telah dikompensasikan, yang dikurangkan dari pajak yang terutang. |
24. | Pekerjaan bebas adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi yang mempunyai keahlian khusus sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan yang tidak terikat oleh suatu hubungan kerja. |
25. | Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. |
26. | Bukti Permulaan adalah keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan, atau benda yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi suatu tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan oleh siapa saja yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. |
27. | Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan. |
28. | Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. |
29. | Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut. |
30. | Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan penghitungannya. |
31. | Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya. |
32. | Penyidik adalah pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
33. | Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga. |
34. | Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap surat ketetapan pajak atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak. |
35. | Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak. |
36. | Putusan Gugatan adalah putusan badan peradilan pajak atas gugatan terhadap hal-hal yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dapat diajukan gugatan. |
37. | Putusan Peninjauan Kembali adalah putusan Mahkamah Agung atas permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Wajib Pajak atau oleh Direktur Jenderal Pajak terhadap Putusan Banding atau Putusan Gugatan dari badan peradilan pajak. |
38. | Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak adalah surat keputusan yang menentukan jumlah pengembalian pendahuluan kelebihan pajak untuk Wajib Pajak tertentu. |
39. | Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga adalah surat keputusan yang menentukan jumlah imbalan bunga yang diberikan kepada Wajib Pajak. |
40. | Tanggal dikirim adalah tanggal stempel pos pengiriman, tanggal faksimili, atau dalam hal disampaikan secara langsung adalah tanggal pada saat surat, keputusan, atau putusan disampaikan secara langsung. |
41. | Tanggal diterima adalah tanggal stempel pos pengiriman, tanggal faksimili, atau dalam hal diterima secara langsung adalah tanggal pada saat surat, keputusan, atau putusan diterima secara langsung. |
Penjelasan Pasal 1
Cukup Jelas.
BAB II
NOMOR POKOK WAJIB PAJAK, SURAT PEMBERITAHUAN, DAN TATA CARA PEMBAYARAN PAJAK
NOMOR POKOK WAJIB PAJAK, SURAT PEMBERITAHUAN, DAN TATA CARA PEMBAYARAN PAJAK
Pasal 2
(1) | Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak. | |
(2) | Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, wajib melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha, dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak. | |
(3) | Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan: | |
| a. | tempat pendaftaran dan/atau tempat pelaporan usaha selain yang ditetapkan pada ayat (1) dan ayat (2); dan/atau |
| b. | tempat pendaftaran pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal dan kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan, bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu. |
(4) | Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau mengukuhkan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan apabila Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2). | |
(4a) | Kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak yang diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau yang dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dimulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, paling lama 5 (lima) tahun sebelum diterbitkannya Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkannya sebagai Pengusaha Kena Pajak. | |
(5) | Jangka waktu pendaftaran dan pelaporan serta tata cara pendaftaran dan pengukuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) termasuk penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. | |
(6) | Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak apabila: | |
| a. | diajukan permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak oleh Wajib Pajak dan/atau ahli warisnya apabila Wajib Pajak sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan; |
| b. | Wajib Pajak badan dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha |
| c. | Wajib Pajak bentuk usaha tetap menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia; atau |
| d. | dianggap perlu oleh Direktur Jenderal Pajak untuk menghapuskan Nomor Pokok Wajib Pajak dan Wajib Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. |
(7) | Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus memberikan keputusan atas permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dalam jangka waktu 6 (enam) bulan untuk Wajib Pajak orang pribadi atau 12 (dua belas) bulan untuk Wajib Pajak badan, sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap. | |
(8) | Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat melakukan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak. | |
(9) | Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus memberikan keputusan atas permohonan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap. |
Penjelasan Pasal 2
Ayat (1)
Semua Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan berdasarkan sistem self assessment, wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak untuk dicatat sebagai Wajib Pajak dan sekaligus untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak.
Persyaratan subjektif adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek pajak dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya.
Persyaratan objektif adalah persyaratan bagi subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan pemotongan/pemungutan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya.
Kewajiban mendaftarkan diri tersebut berlaku pula terhadap wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah karena hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim atau dikehendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta.
Wanita kawin selain tersebut di atas dapat mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak atas namanya sendiri agar wanita kawin tersebut dapat melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya terpisah dari hak dan kewajiban perpajakan suaminya.
Nomor Pokok Wajib Pajak tersebut merupakan suatu sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak. Oleh karena itu, kepada setiap Wajib Pajak hanya diberikan satu Nomor Pokok Wajib Pajak. Selain itu, Nomor Pokok Wajib Pajak juga dipergunakan untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan administrasi perpajakan. Dalam hal berhubungan dengan dokumen perpajakan, Wajib Pajak diwajibkan mencantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak yang dimilikinya. Terhadap Wajib Pajak yang tidak mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ayat (2)
Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Pengusaha orang pribadi berkewajiban melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Pengusaha dan tempat kegiatan usaha dilakukan, sedangkan bagi Pengusaha badan berkewajiban melaporkan usahanya tersebut pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Pengusaha dan tempat kegiatan usaha dilakukan.
Dengan demikian, Pengusaha orang pribadi atau badan yang mempunyai tempat kegiatan usaha di wilayah beberapa kantor Direktorat Jenderal Pajak wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak baik di kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha maupun di kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan.
Fungsi pengukuhan Pengusaha Kena Pajak selain dipergunakan untuk mengetahui identitas Pengusaha Kena Pajak yang sebenarnya juga berguna untuk melaksanakan hak dan kewajiban di bidang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah serta untuk pengawasan administrasi perpajakan.
Terhadap Pengusaha yang telah memenuhi syarat sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Terhadap Wajib Pajak maupun Pengusaha Kena Pajak tertentu, Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan kantor Direktorat Jenderal Pajak selain yang ditentukan pada ayat (1) dan ayat sebagai tempat pendaftaran untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
Selain itu, bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu, yaitu Wajib Pajak orang pribadi yang mempunyai tempat usaha tersebar di beberapa tempat, misalnya pedagang elektronik yang mempunyai toko di beberapa pusat perbelanjaan, di samping wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Wajib Pajak, juga diwajibkan mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha Wajib Pajak dilakukan.
Terhadap Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak yang tidak memenuhi kewajiban untuk mendaftarkan diri dan/atau melaporkan usahanya dapat diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pengukuhan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan. Hal ini dapat dilakukan apabila berdasarkan data yang diperoleh atau dimiiiki oleh Direktorat Jenderal Pajak ternyata orang pribadi atau badan atau Pengusaha tersebut telah memenuhi syarat untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Ayat (4a)
Ayat ini mengatur bahwa dalam penerbitan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan harus memperhatikan saat terpenuhinya persyaratan subjektif dan objektif dari Wajib Pajak yang bersangkutan. Selanjutnya terhadap Wajib Pajak tersebut tidak dikecualikan dari pemenuhan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum kepada Wajib Pajak maupun Pemerintah berkaitan dengan kewajiban Wajib Pajak untuk mendaftarkan diri dan hak untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, misalnya terhadap Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan pada tahun 2008 dan ternyata Wajib Pajak telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan terhitung sejak tahun 2005, kewajiban perpajakannya timbul terhitung sejak tahun 2005.
Ayat (5)
Kewajiban mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan kewajiban melaporkan usaha untuk memperoleh pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dibatasi jangka waktunya karena hal ini berkaitan dengan saat pajak terutang dan kewajiban mengenakan pajak terutang. Pengaturan tentang jangka waktu pendaftaran dan pelaporan tersebut, tata cara pemberian dan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak serta pengukuhan dan pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Ayat (6)
Cukup Jelas.
Ayat (7)
Cukup Jelas.
Ayat (8)
Cukup Jelas.
Ayat (9)
Cukup Jelas.
Pasal 2A
Masa Pajak sama dengan 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan paling lama 3 (tiga) bulan kalender.
Penjelasan Pasal 2A
Cukup Jelas.
Pasal 3
(1) | Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. | |
(1a) | Wajib Pajak yang telah mendapat izin Menteri Keuangan untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah, wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan satuan mata uang selain Rupiah yang diizinkan, yang pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. | |
(1b) | Penandatanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara biasa, dengan tanda tangan stempel, atau tanda tangan elektronik atau digital, yang semuanya mempunyai kekuatan hukum yang sama, yang tata cara pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. | |
(2) | Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (1a) mengambil sendiri Surat Pemberitahuan di tempat yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak atau mengambil dengan cara lain yang tata cara pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. | |
(3) | Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan adalah: | |
| a. | untuk Surat Pemberitahuan Masa, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak; |
| b. | untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi, paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak; atau |
| c. | untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan, paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak. |
(3a) | Wajib Pajak dengan kriteria tertentu dapat melaporkan beberapa Masa Pajak dalam 1 (satu) Surat Pemberitahuan Masa. | |
(3b) | Wajib Pajak dengan kriteria tertentu dan tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3a) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. | |
(3c) | Batas waktu dan tata cara pelaporan atas pemotongan dan pemungutan pajak yang dilakukan oleh bendahara pemerintah dan badan tertentu diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. | |
(4) | Wajib Pajak dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk paling lama 2 (dua) bulan dengan cara menyampaikan pemberitahuan secara tertulis atau dengan cara lain kepada Direktur Jenderal Pajak yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. | |
(5) | Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus disertai dengan penghitungan sementara pajak yang terutang dalam 1 (satu) Tahun Pajak dan Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang terutang, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. | |
(5a) | Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan sesuai batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dapat diterbitkan Surat Teguran. | |
(6) | Bentuk dan isi Surat Pemberitahuan serta keterangan dan/atau dokumen yang harus dilampirkan, dan cara yang digunakan untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. | |
(7) | Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan apabila: | |
| a. | Surat Pemberitahuan tidak ditandatangani sebagaimana dimaksud pada ayat (1); |
| b. | Surat Pemberitahuan tidak sepenuhnya dilampiri keterangan dan/atau dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (6); |
| c. | Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar disampaikan setelah 3 (tiga) tahun sesudah berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, dan Wajib Pajak telah ditegur secara tertulis; atau |
| d. | Surat Pemberitahuan disampaikan setelah Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan atau menerbitkan surat ketetapan pajak. |
(7a) | Apabila Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Direktur Jenderal Pajak wajib memberitahukan kepada Wajib Pajak. | |
(8) | Dikecualikan dari kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Wajib Pajak Pajak Penghasilan tertentu yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. |
Penjelasan 3
Ayat (1)
Fungsi Surat Pemberitahuan bagi Wajib Pajak Pajak Penghasilan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang:
a. | pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 (satu) Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak; |
b. | penghasilan yang merupakan objek pajak dan/atau bukan objek pajak; |
c. | harta dan kewajiban; dan/atau |
d. | pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain dalam 1 (satu) Masa Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. |
Bagi Pengusaha Kena Pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang:
a. | pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran; dan |
b. | pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak dan/atau melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. |
Bagi pemotong atau pemungut pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan disetorkannya.
Yang dimaksud dengan mengisi Surat Pemberitahuan adalah mengisi formulir Surat Pemberitahuan, dalam bentuk kertas dan/atau dalam bentuk elektronik, dengan benar, lengkap, dan jelas sesuai dengan petunjuk pengisian yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Sementara itu, yang dimaksud dengan benar, lengkap, dan jelas dalam mengisi Surat Pemberitahuan adalah:
a. | benar adalah benar dalam perhitungan, termasuk benar dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dalam penulisan, dan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya; |
b. | lengkap adalah memuat semua unsur-unsur yang berkaitan dengan objek pajak dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan; dan |
c. | jelas adalah melaporkan asal-usul atau sumber dari objek pajak dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan |
Surat Pemberitahuan yang telah diisi dengan benar, lengkap, dan jelas tersebut wajib disampaikan ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Kewajiban penyampaian Surat Pemberitahuan oleh pemotong atau pemungut pajak dilakukan untuk setiap Masa Pajak.
Cukup Jelas.
Ayat (1b)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Dalam rangka memberikan pelayanan dan kemudahan kepada Wajib Pajak, formulir Surat Pemberitahuan disediakan pada kantor-kantor Direktorat Jenderal Pajak dan tempat-tempat lain yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak yang diperkirakan mudah terjangkau oleh Wajib Pajak. Di samping itu, Wajib Pajak juga dapat mengambil Surat Pemberitahuan dengan cara lain, misalnya dengan mengakses situs Direktorat Jenderal Pajak untuk memperoleh formulir Surat Pemberitahuan tersebut.
Namun, untuk memberikan pelayanan yang lebih baik, Direktur Jenderal Pajak dapat mengirimkan Surat Pemberitahuan kepada Wajib Pajak.
Ayat (3)
Ayat ini mengatur tentang batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan yang dianggap cukup memadai bagi Wajib Pajak untuk mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan pembayaran pajak dan penyelesaian pembukuannya.
Ayat (3a)
Wajib Pajak dengan kriteria tertentu, antara lain Wajib Pajak usaha kecil, dapat:
a. | menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk beberapa Masa Pajak sekaligus dengan syarat pembayaran seluruh pajak yang wajib dilunasi menurut Surat Pemberitahuan Masa tersebut dilakukan sekaligus paling lama dalam Masa Pajak yang terakhir; dan/atau |
b. | menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa selain yang disebut pada huruf a untuk beberapa Masa Pajak sekaligus dengan syarat pembayaran untuk masing-masing Masa Pajak dilakukan sesuai batas waktu untuk Masa Pajak yang bersangkutan. |
Ayat (3b)
Cukup Jelas.
Ayat (3c)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Apabila Wajib Pajak baik orang pribadi maupun badan ternyata tidak dapat menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam jangka waktu yang telah ditetapkan pada ayat (3) huruf b, atau huruf c karena luasnya kegiatan usaha dan masalah-masalah teknis penyusunan laporan keuangan, atau sebab lainnya sehingga sulit untuk memenuhi batas waktu penyelesaian dan memerlukan kelonggaran dari batas waktu yang telah ditentukan, Wajib Pajak dapat memperpanjang penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan dengan cara menyampaikan pemberitahuan secara tertulis atau dengan cara lain misalnya dengan Pemberitahuan secara elektronik kepada Direktur Jenderal PaJak.
Untuk mencegah usaha penghindaran dan/atau perpanjangan waktu pembayaran pajak yang terutang dalam 1 (satu) Tahun Pajak yang harus dibayar sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan, perlu ditetapkan persyaratan yang berakibat pengenaan sanksi administrasi berupa bunga bagi Wajib Pajak yang ingin memperpanjang waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Persyaratan tersebut berupa keharusan menyampaikan pemberitahuan sementara dengan menyebutkan besarnya pajak yang harus dibayar berdasarkan penghitungan sementara pajak yang terutang dalam 1 (satu) Tahun Pajak dan Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan, sebagai lampiran pemberitahuan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Ayat (5a)
Dalam rangka pembinaan terhadap Wajib Pajak yang sampai dengan batas waktu yang telah ditentukan ternyata tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan, terhadap Wajib Pajak yang bersangkutan dapat diberikan Surat Teguran.
Ayat (6)
Mengingat fungsi Surat Pemberitahuan merupakan sarana Wajib Pajak, antara lain untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak dan pembayarannya, dalam rangka keseragaman dan mempermudah pengisian serta pengadministrasiannya, bentuk dan isi Surat Pemberitahuan, keterangan dokumen yang harus dilampirkan dan cara yang digunakan untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sekurang-kurangnya memuat jumlah peredaran, Jumlah penghasilan, jumlah Penghasilan Kena Pajak, jumlah pajak yang terutang, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan atau kelebihan pajak, serta harta dan kewajiban di luar kegiatan usaha atau pekerjaan bebas bagi Wajib Pajak orang pribadi. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan harus dilengkapi dengan laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi serta keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sekurang-kurangnya memuat jumlah Dasar Pengenaan Pajak, jumlah Pajak Keluaran, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, dan jumlah kekurangan atau kelebihan pajak.
Ayat (7)
Surat Pemberitahuan yang ditandatangani beserta lampirannya adalah satu kesatuan yang merupakan unsur keabsahan Surat Pemberitahuan. Oleh karena itu, Surat Pemberitahuan dari Wajib Pajak yang disampaikan, tetapi tidak dilengkapi dengan lampiran yang dipersyaratkan, tidak dianggap sebagai Surat Pemberitahuan dalam administrasi Direktorat Jenderal Pajak. Dalam hal demikian, Surat Pemberitahuan tersebut dianggap sebagai data perpajakan.
Demikian juga apabila penyampaian Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar telah melewati 3 (tiga) tahun sesudah berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak dan Wajib Pajak telah ditegur secara tertulis, atau apabila Surat Pemberitahuan disampaikan setelah Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan atau menerbitkan surat ketetapan pajak, Surat Pemberitahuan tersebut dianggap sebagai data perpajakan.
Ayat (7a)
Cukup Jelas.
Ayat (8)
Pada prinsipnya setiap Wajib Pajak Pajak Penghasilan diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan. Dengan pertimbangan efisiensi atau pertimbangan lainnya, Menteri Keuangan dapat menetapkan Wajib Pajak Pajak Penghasilan yang dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan, misalnya Wajib Pajak orang pribadi yang menerima atau memperoleh penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak, tetapi karena kepentingan tertentu diwajibkan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
Pasal 4
(1) | Wajib Pajak wajib mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, jelas, dan menandatanganinya. |
(2) | Surat Pemberitahuan Wajib Pajak badan harus ditandatangani oleh pengurus atau direksi. |
(3) | Dalam hal Wajib Pajak menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk mengisi dan menandatangani Surat Pemberitahuan, surat kuasa khusus tersebut harus dilampirkan pada Surat Pemberitahuan. |
(4) | Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan harus dilampiri dengan laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi serta keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak. |
(4a) | Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah laporan keuangan dari masing-masing Wajib Pajak. |
(4b) | Dalam hal laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4a) diaudit oleh Akuntan Publik tetapi tidak dilampirkan pada Surat Pemberitahuan, Surat Pemberitahuan dianggap tidak lengkap dan tidak jelas, sehingga Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (7) huruf b. |
(5) | Tata cara penerimaan dan pengolahan Surat Pemberitahuan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. |
Penjelasan Pasal 4
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Cukup Jelas.
Ayat (4a)
Yang dimaksud dengan Laporan Keuangan masing-masing Wajib Pajak adalah laporan keuangan hasil kegiatan usaha masing-masing Wajib Pajak.
Contoh:
PT A memiliki saham pada PT B dan PT C. Dalam contoh tersebut, PT A mempunyai kewajiban melampirkan laporan keuangan konsolidasi PT A dan anak perusahaan, juga melampirkan laporan keuangan atas usaha PT A (sebelum dikonsolidasi), sedangkan PT B dan PT C wajib melampirkan laporan keuangan masing-masing, bukan laporan keuangan konsolidasi.
Ayat (4b)
Cukup Jelas.
Ayat (5)
Tata cara penerimaan dan pengolahan Surat Pemberitahuan memuat hal-hal mengenai, antara lain, penelitian kelengkapan, pemberian tanda terima, pengelompokan Surat Pemberitahuan Lebih Bayar, Kurang Bayar, dan Nihil, prosedur perekaman dan tindak lanjut pengelolaannya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 5
Untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan, Direktur Jenderal Pajak dalam hal-hal tertentu dapat menentukan tempat lain bukan tempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).Penjelasan Pasal 5
Cukup Jelas.
Pasal 6
(1) | Surat Pemberitahuan yang disampaikan langsung oleh Wajib Pajak ke kantor Direktorat Jenderal Pajak harus diberi tanggal penerimaan oleh pejabat yang ditunjuk dan kepada Wajib Pajak diberikan bukti penerimaan. |
(2) | Penyampaian Surat Pemberitahuan dapat dikirimkan melalui pos dengan tanda bukti pengiriman surat atau dengan cara lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. |
(3) | Tanda bukti dan tanggal pengiriman surat untuk penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap sebagai tanda bukti dan tanggal penerimaan sepanjang Surat Pemberitahuan tersebut telah lengkap. |
Penjelasan Pasal 6
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Dalam rangka peningkatan pelayanan kepada Wajib Pajak dan sejalan dengan perkembangan teknologi informasi, perlu cara lain bagi Wajib Pajak untuk memenuhi kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuannya, misalnya disampaikan secara elektronik.
Ayat (3)
Tanda bukti dan tanggal pengiriman surat untuk penyampaian Surat Pemberitahuan melalui pos atau dengan cara lain merupakan bukti penerimaan, apabila Surat Pemberitahuan dimaksud telah lengkap, yaitu memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), ayat (1a), dan ayat (6).
Pasal 7
(1) | Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa lainnya, dan sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan serta sebesar Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi. | |
(2) | Pengenaan sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan terhadap: | |
| a. | Wajib Pajak orang pribadi yang telah meninggal dunia; |
| b. | Wajib Pajak orang pribadi yang sudah tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas; |
| c. | Wajib Pajak orang pribadi yang berstatus sebagai warga negara asing yang tidak tinggal lagi di Indonesia; |
| d. | Bentuk Usaha Tetap yang tidak melakukan kegiatan lagi di Indonesia; |
| e. | Wajib Pajak badan yang tidak melakukan kegiatan usaha lagi tetapi belum dibubarkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku; |
| f. | Bendahara yang tidak melakukan pembayaran lagi; |
| g. | Wajib Pajak yang terkena bencana, yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan; atau |
| h. | Wajib Pajak lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. |
Penjelasan Pasal 7
Ayat (1)
Maksud pengenaan sanksi administrasi berupa denda sebagaimana diatur pada ayat ini adalah untuk kepentingan tertib administrasi perpajakan dan meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan.
Ayat (2)
Bencana adalah bencana nasional atau bencana yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Pasal 8
(1) | Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan. | |
(1a) | Dalam hal pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan rugi atau lebih bayar, pembetulan Surat Pemberitahuan harus disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa penetapan. | |
(2) | Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian Surat Pemberitahuan berakhir sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. | |
(2a) | Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Masa yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. | |
(3) | Walaupun telah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi belum dilakukan tindakan penyidikan mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, terhadap ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak tersebut tidak akan dilakukan penyidikan, apabila Wajib Pajak dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya tersebut dengan disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 150% (seratus lima puluh persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar. | |
(4) | Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan surat ketetapan pajak, Wajib Pajak dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sesuai keadaan yang sebenarnya, yang dapat mengakibatkan: | |
| a. | pajak-pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar atau lebih kecil; |
| b. | rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil atau lebih besar; |
| c. | jumlah harta menjadi lebih besar atau lebih kecil; atau |
| d. | jumlah modal menjadi lebih besar atau lebih kecil |
| dan proses pemeriksaan tetap dilanjutkan. | |
(5) | Pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang kurang dibayar, harus dilunasi oleh Wajib Pajak sebelum laporan tersendiri dimaksud disampaikan. | |
(6) | Wajib Pajak dapat membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan yang telah disampaikan, dalam hal Wajib Pajak menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali Tahun Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan yang akan dibetulkan tersebut, dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan. |
Penjelasan Pasal 8
Ayat (1)
Terhadap kekeliruan dalam pengisian Surat Pemberitahuan yang dibuat oleh Wajib Pajak, Wajib Pajak masih berhak untuk melakukan pembetulan atas kemauan sendiri, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan. Yang dimaksud dengan "mulai melakukan tindakan pemeriksaan" adalah pada saat Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Pajak disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak.
Ayat (1a)
Yang dimaksud dengan daluwarsa penetapan adalah Jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat(1).
Ayat (2)
Dengan adanya pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan atas kemauan sendiri membawa akibat penghitungan jumlah pajak yang terutang dan jumlah penghitungan pembayaran pajak menjadi berubah dari jumlah semula.
Atas kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat pembetulan tersebut dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan.
Bunga yang terutang atas kekurangan pembayaran pajak tersebut, dihitung mulai dari berakhirnya batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. Yang dimaksud dengan "1 (satu) bulan" adalah Jumlah hari dalam bulan kalender yang bersangkutan, misalnya mulai dari tanggal 22 Juni sampai dengan 21 Juli, sedangkan yang dimaksud dengan "bagian dari bulan" adalah jumlah hari yang tidak mencapai 1 (satu) bulan penuh, misalnya 22 Juni sampai dengan 5 Juli.
Ayat (2a)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Wajib Pajak yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 selama belum dilakukan penyidikan, sekalipun telah dilakukan pemeriksaan dan Wajib Pajak telah mengungkapkan kesalahannya dan sekaligus melunasi jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 150% (seratus lima puluh persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar, terhadapnya tidak akan dilakukan penyidikan.
Namun, apabila telah dilakukan tindakan penyidikan dan mulainya penyidikan tersebut diberitahukan kepada Penuntut Umum, kesempatan untuk mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya sudah tertutup bagi Wajib Pajak yang bersangkutan.
Ayat (4)
Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan tetapi belum menerbitkan surat ketetapan pajak, kepada Wajib Pajak baik yang telah maupun yang belum membetulkan Surat Pemberitahuan masih diberikan kesempatan untuk mengungkapkan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan, yang dapat berupa Surat Pemberitahuan Tahunan atau Surat Pemberitahuan Masa untuk tahun atau masa yang diperiksa. Pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan tersebut dilakukan dalam laporan tersendiri dan harus mencerminkan keadaan yang sebenarnya sehingga dapat diketahui jumlah pajak yang sesungguhnya terutang. Namun, untuk membuktikan kebenaran laporan Wajib Pajak tersebut, proses pemeriksaan tetap dilanjutkan sampai selesai.
Ayat (5)
Atas kekurangan pajak sebagai akibat adanya pengungkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikenai sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang kurang dibayar, dan harus dilunasi oleh Wajib Pajak sebelum laporan pengungkapan tersendiri disampaikan. Namun, pemeriksaan tetap dilanjutkan. Apabila dari hasil pemeriksaan terbukti bahwa laporan pengungkapan ternyata tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, atas ketidakbenaran pengungkapan tersebut dapat diterbitkan surat ketetapan pajak.
Ayat (6)
Sehubungan dengan diterbitkannya surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali atas suatu Tahun Pajak yang mengakibatkan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan tahun berikutnya atau tahun-tahun berikutnya, akan dilakukan penyesuaian rugi fiskal sesuai dengan surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali dalam penghitungan Pajak Penghasilan tahun-tahun berikutnya, pembatasan jangka waktu 3 (tiga) bulan tersebut dimaksudkan untuk tertib administrasi tanpa menghilangkan hak Wajib Pajak atas kompensasi kerugian.
Dalam hal Wajib Pajak membetulkan Surat Pemberitahuan lewat Jangka waktu 3 (tiga) bulan atau Wajib Pajak tidak mengajukan pembetulan sebagai akibat adanya surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali Tahun Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, Direktur Jenderal Pajak akan memperhitungkannya dalam menetapkan kewajiban perpajakan Wajib Pajak. Untuk Jelasnya diberikan contoh sebagai berikut:
Contoh 1:
PT A menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2008 yang menyatakan:
Penghasilan Neto sebesar | Rp 200.000.000,00 |
Kompensasi kerugian berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2007 sebesar | Rp 150.000.000,00 (-) |
Penghasilan Kena Pajak sebesar | Rp 50.000.000,00 |
Terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2007 dilakukan pemeriksaan, dan pada tanggal 6 Januari 2010 diterbitkan surat ketetapan pajak yang menyatakan rugi fiskal sebesar Rp 70.000.000,00 Berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut Direktur Jenderal Pajak akan mengubah perhitungan Penghasilan Kena PaJak tahun 2008 menjadi sebagai berikut:
Penghasilan Neto | Rp 200.000.000,00 |
Rugi menurut ketetapan pajak tahun 2007 | Rp 70.000.000,00 (-) |
Penghasilan Kena Pajak | Rp 130.000.000,00 |
Dengan demikian penghasilan kena pajak dari Surat Pemberitahuan yang semula Rp5 0.000.000,00 (Rp 200.000.000,00 - Rp 150.000.000,00) setelah pembetulan menjadi Rp 130.000.000,00 (Rp 200.000.000,00 - Rp 70.000.000,00)
Contoh 2:
PT B menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2008 yang menyatakan:
Penghasilan Neto sebesar | Rp 300.000.000,00 |
Kompensasi kerugian berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2007 sebesar | Rp 200.000.000,00 (-) |
Penghasilan Kena Pajak sebesar | Rp 100.000.000,00 |
Terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2007 dilakukan pemeriksaan dan pada tanggal 6 Januari 2010 diterbitkan surat ketetapan pajak yang menyatakan rugi fiskal sebesar Rp 250.000.000,00.
Berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut Direktur Jenderal Pajak akan mengubah perhitungan Penghasilan Kena Pajak tahun 2008 menjadi sebagai berikut:
Penghasilan Neto | Rp 300.000.000,00 |
Rugi menurut ketetapan pajak tahun 2007 | Rp 250.000.000,00 (-) |
Penghasilan Kena Pajak | Rp 50.000.000,00 |
Dengan demikian penghasilan kena pajak dari Surat Pemberitahuan yang semula Rp 100.000.000,00 (Rp 300.000.000,00 - Rp 200.000.000,00) setelah pembetulan menjadi Rp 50.000.000,00 (Rp 300.000.000,00 - Rp 250.000.000,00).
Pasal 9
(1) | Menteri Keuangan menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak bagi masing-masing jenis pajak, paling lama 15 (lima belas) hari setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak. |
(2) | Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan harus dibayar lunas sebelum Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan disampaikan. |
(2a) | Pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak, dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. |
(2b) | Atas pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan, dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung mulai dari berakhirnya batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. |
(3) | Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan. |
(3a) | Bagi Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu, jangka waktu pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diperpanjang paling lama menjadi 2 (dua) bulan yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. |
(4) | Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat memberikan persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak termasuk kekurangan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 12 (dua belas) bulan, yang pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. |
Penjelasan Pasal 9
Ayat (1)
Batas waktu pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak ditetapkan oleh Menteri Keuangan dengan batas waktu tidak melampaui 15 (lima belas) hari setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak. Keterlambatan dalam pembayaran dan penyetoran tersebut berakibat dikenai sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (2a)
Ayat ini mengatur pengenaan bunga atas keterlambatan pembayaran atau penyetoran pajak. Untuk jelasnya cara penghitungan bunga tersebut diberikan contoh sebagai berikut:
Angsuran masa Pajak Penghasilan Pasal 25 PT A tahun 2008 sejumlah Rp 10.000.000,00 per bulan. Angsuran masa Mei tahun 2008 dibayar tanggal 18 Juni 2008 dan dilaporkan tanggai 19 Juni 2008. Apabiia pada tanggal 15 Juli 2008 diterbitkan Surat Tagihan Pajak, sanksi bunga dalam Surat Tagihan Pajak dihitung 1 (satu) bulan sebagai berikut:1 x 2% x Rp 10.000.000,00 = Rp 200.000.00.
Ayat (2b)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (3a)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Atas permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat memberikan persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak yang terutang termasuk kekurangan pembayaran Pajak Penghasilan yang masih harus dibayar dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan meskipun tanggal Jatuh tempo pembayaran telah ditentukan.
Kelonggaran tersebut diberikan dengan hati-hati untuk paling lama 12 (dua belas) bulan dan terbatas kepada Wajib Pajak yang benar-benar sedang mengalami kesulitan likuiditas.
Pasal 10
(1) | Wajib Pajak wajib membayar atau menyetor pajak yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran Pajak ke kas negara melalui tempat pembayaran yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. |
(1a) | Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak apabila telah disahkan oleh Pejabat kantor penerima pembayaran yang berwenang atau apabila telah mendapatkan validasi, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. |
(2) | Tata cara pembayaran, penyetoran pajak, dan pelaporannya serta tata cara mengangsur dan menunda pembayaran pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. |
Penjelasan Pasal 10
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (1a)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Adanya tata cara pembayaran pajak, penyetoran pajak, dan pelaporannya, serta tata cara mengangsur dan menunda pembayaran pajak yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan diharapkan dapat mempermudah pelaksanaan pembayaran pajak dan administrasinya.
Pasal 11
(1) | Atas permohonan Wajib Pajak, kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 17B, Pasal 17C, atau Pasal 17D dikembalikan, dengan ketentuan bahwa apabila ternyata Wajib Pajak mempunyai utang pajak, langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak tersebut. |
(1a) | Kelebihan pembayaran pajak sebagai akibat adanya Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, dan Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, serta Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga dikembalikan kepada Wajib Pajak dengan ketentuan jika ternyata Wajib Pajak mempunyai utang pajak, langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak tersebut. |
(2) | Pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (1a) dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak diterima sehubungan dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), atau sejak diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 17B, atau sejak diterbitkannya Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C atau Pasal 17D, atau sejak diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga, atau sejak diterimanya Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak. |
(3) | Apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah jangka waktu 1 (satu) bulan, Pemerintah memberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, dihitung sejak batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir sampai dengan saat dilakukan pengembalian kelebihan. |
(4) | Tata cara penghitungan dan pengembalian kelebihan pembayaran pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. |
Penjelasan Pasal 11
Ayat (1)
Jika setelah diadakan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dengan jumlah kredit pajak menunjukkan jumlah selisih lebih (jumlah kredit pajak lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang) atau telah dilakukan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, Wajib Pajak berhak untuk meminta kembali kelebihan pembayaran pajak, dengan catatan Wajib Pajak tersebut tidak mempunyai utang pajak.
Dalam hal Wajib PaJak masih mempunyai utang pajak yang meliputi semua jenis pajak baik di pusat maupun cabang-cabangnya, kelebihan pembayaran tersebut harus diperhitungkan lebih dahulu dengan utang pajak tersebut dan jika masih terdapat sisa lebih, dikembalikan kepada Wajib Pajak.
Ayat (1a)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Untuk menjamin kepastian hukum bagi Wajib Pajak dan ketertiban administrasi, batas waktu pengembalian kelebihan pembayaran pajak ditetapkan paling lama 1 (satu) bulan:
a. | untuk Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan tertulis tentang pengembalian kelebihan pembayaran pajak; |
b. | untuk Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 17B, dihitung sejak tanggal penerbitan; |
c. | untuk Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C dan Pasal 17D, dihitung sejak tanggal penerbitan; |
d. | untuk Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga, dihitung sejak tanggal penerbitan; |
e. | untuk Putusan Banding dihitung sejak diterimanya Putusan Banding oleh Kantor Direktorat Jendera Pajak yang berwenang melaksanakan putusan pengadilan; atau |
f. | untuk Putusan Peninjauan Kembali dihitung sejak diterimanya Putusan Peninjauan Kembali oleh Kantor Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang melaksanakan putusan pengadilan sampai dengan saat diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak. |
Ayat (3)
Untuk menciptakan keseimbangan hak dan kewajiban bagi Wajib Pajak melalui pelayanan yang lebih baik, diatur bahwa setiap keterlambatan dalam pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepada Wajib Pajak yang bersangkutan diberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dihitung sejak berakhirnya jangka waktu 1 (satu) bulan sampai dengan saat diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak.
Ayat (4)
Cukup Jelas.
BAB III
PENETAPAN DAN KETETAPAN PAJAK
Pasal 12
PENETAPAN DAN KETETAPAN PAJAK
Pasal 12
(1) | Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak. |
(2) | Jumlah Pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib Pajak adalah jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. |
(3) | Apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak benar, Direktur Jenderal Pajak menetapkan jumlah pajak yang terutang. |
Penjelasan Pasal 12
Ayat (1)
Pajak pada prinsipnya terutang pada saat timbulnya objek pajak yang dapat dikenai pajak, tetapi untuk kepentingan administrasi perpajakan saat terutangnya pajak tersebut adalah:
a. | pada suatu saat, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pihak ketiga; |
b. | pada akhir masa, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pemberi kerja, atau yang dipungut oleh pihak lain atas kegiatan usaha, atau oleh Pengusaha Kena Pajak atas pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah; atau |
c. | pada akhir Tahun Pajak, untuk Pajak Penghasilan. |
Jumlah pajak yang terutang yang telah dipotong, dipungut, atau pun yang harus dibayar oleh Wajib Pajak setelah tiba saat atau masa pelunasan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10 ayat (2), oleh Wajib Pajak harus disetorkan ke kas negara melalui tempat pembayaran yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.
Berdasarkan Undang-Undang ini Direktorat Jenderal Pajak tidak berkewajiban untuk menerbitkan surat ketetapan pajak atas semua Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak. Penerbitan suatu surat ketetapan pajak hanya terbatas pada Wajib Pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian Surat Pemberitahuan atau karena ditemukannya data fiskal yang tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak.
Ayat (2)
Ketentuan ini mengatur bahwa kepada Wajib Pajak yang telah menghitung dan membayar besarnya pajak yang terutang secara benar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, serta melaporkan dalam Surat Pemberitahuan, tidak perlu diberikan surat ketetapan pajak atau pun Surat Tagihan Pajak.
Ayat (3)
Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak yang dihitung dan dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan yang bersangkutan tidak benar, misalnya pembebanan biaya ternyata melebihi yang sebenarnya, Direktur Jenderal Pajak menetapkan besarnya pajak yang terutang sebagaimana mestinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Pasal 13
(1) | Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal-hal sebagai berikut: | |
| a. | apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar; |
| b. | apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran; |
| c. | apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenai tarif 0% (nol persen); |
| d. | apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 atau Pasal 29 tidak dipenuhi sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang; atau |
| e. | apabila kepada Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4a). |
(2) | Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf e ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar. | |
(3) | Jumlah pajak dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar: | |
| a. | 50% (lima puluh persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar dalam satu Tahun Pajak; |
| b. | 100% (seratus persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dipotong, tidak atau kurang dipungut, tidak atau kurang disetor, dan dipotong atau dipungut tetapi tidak atau kurang disetor; atau |
| c. | 100% (seratus persen) dari Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang tidak atau kurang dibayar. |
(4) | Besarnya pajak yang terutang yang diberitahukan oleh Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan menjadi pasti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak tidak diterbitkan surat ketetapan pajak. | |
(5) | Walaupun jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tetap dapat diterbitkan ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, apabila Wajib Pajak setelah jangka waktu tersebut dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. | |
(6) | Tata cara penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. |
Penjelasan Pasal 13
Ayat (1)
Ketentuan ayat ini memberi wewenang kepada Direktur Jenderal Pajak untuk dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, yang pada hakikatnya hanya terhadap kasus-kasus tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat ini. Dengan demikian, hanya terhadap Wajib Pajak yang berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain tidak memenuhi kewajiban formal dan/atau kewajiban material. Keterangan lain tersebut adalah data konkret yang diperoleh atau dimiliki oleh Direktur Jenderal Pajak, antara lain berupa hasil konfirmasi faktur pajak dan bukti pemotongan Pajak Penghasilan. Wewenang yang diberikan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan koreksi fiskal tersebut dibatasi sampai dengan kurun waktu 5 (lima) tahun.
Menurut ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar baru diterbitkan jika Wajib Pajak tidak membayar pajak sebagaimana mestinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Diketahuinya Wajib Pajak tidak atau kurang membayar pajak karena dilakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang bersangkutan dan dari hasil pemeriksaan itu diketahui bahwa Wajib Pajak tidak atau kurang membayar dari jumlah pajak yang seharusnya terutang.
Pemeriksaan dapat dilakukan di tempat tinggal, tempat kedudukan, dan/atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dapat juga diterbitkan dalam hal Direktur Jenderal Pajak memiliki data lain di luar data yang disampaikan oleh Wajib Pajak sendiri, dari data tersebut dapat dipastikan bahwa Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban pajak sebagaimana mestinya. Untuk memastikan kebenaran data itu, terhadap Wajib Pajak dapat dilakukan pemeriksaan.
Surat Pemberitahuan yang tidak disampaikan pada waktunya walaupun telah ditegur secara tertulis dan tidak juga disampaikan dalam jangka waktu yang ditentukan dalam Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b membawa akibat Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar secara Jabatan. Terhadap ketetapan seperti ini dikenai sanksi administrasi berupa kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Teguran, antara lain, dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada Wajib Pajak yang beritikad baik untuk menyampaikan alasan atau sebab-sebab tidak dapat disampaikannya Surat Pemberitahuan karena sesuatu hal di luar kemampuannya (force majeur).
Bagi Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban perpajakan di bidang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, yang mengakibatkan pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dikenai sanksi administrasi dengan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar ditambah dengan kenaikan sebesar 100% (seratus persen).
Bagi Wajib Pajak yang tidak menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 atau pada saat diperiksa tidak memenuhi permintaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 sehingga Direktur Jenderal Pajak tidak dapat menghitung jumlah pajak yang seharusnya terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Direktur Jenderal Pajak berwenang menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dengan penghitungan secara jabatan, yaitu penghitungan pajak didasarkan pada data yang tidak hanya diperoleh dari Wajib Pajak saja.
Pembuktian atas uraian penghitungan yang dijadikan dasar penghitungan secara jabatan oleh Direktur Jenderal Pajak dibebankan kepada Wajib Pajak. Sebagai contoh:
a. | pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 tidak lengkap sehingga penghitungan laba rugi atau peredaran tidak jelas; |
b. | dokumen-dokumen pembukuan tidak lengkap sehingga angka-angka dalam pembukuan tidak dapat diuji; atau |
c. | dari rangkaian pemeriksaan dan/atau fakta-fakta yang diketahui besar dugaan disembunyikannya dokumen atau data pendukung lain di suatu tempat tertentu sehingga dari sikap demikian jelas Wajib Pajak telah tidak menunjukkan iktikad baiknya untuk membantu kelancaran jalannya pemeriksaan. |
Beban pembuktian tersebut berlaku juga bagi ketetapan yang diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
Ayat (2)
Ayat ini mengatur sanksi administrasi perpajakan yang dikenakan kepada Wajib Pajak karena melanggar kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf e. Sanksi administrasi perpajakan tersebut berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dicantumkan dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.Sanksi administrasi berupa bunga, dihitung dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar dan bagian dari bulan dihitung 1 (satu) bulan. Walaupun Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut diterbitkan lebih dari 2 (dua) tahun sejak berakhirnya Tahun Pajak, bunga dikenakan atas kekurangan tersebut hanya untuk masa 2 (dua) tahun.
Contoh:
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan.
Wajib Pajak PT A mempunyai penghasilan kena pajak selama Tahun Pajak 2006 sebesar Rp 100.000.000,00 dan menyampaikan Surat Pemberitahuan tepat waktu. Pada bulan April 2009 berdasarkan hasil pemeriksaan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar maka sanksi bunga dihitung sebagai berikut:
1. | Penghasilan Kena Pajak | Rp 100.000.000,00 |
2. | Pajak yang terutang (30% x Rp100.000.000,00) | Rp 30.000.000,00 |
3. | Kredit pajak | Rp 10.000.000.00 (-) |
4. | Pajak yang kurang dibayar | Rp 20.000.000,00 |
5. | Bunga 24 bulan (24 x 2% x Rp 20.000.000,00) | Rp 9.600.000,00 (+) |
6. | Jumlah pajak yang masih harus dibayar | Rp 29.600.000,00 |
Dalam hal pengusaha tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, selain harus menyetor pajak yang terutang, pengusaha tersebut juga dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dari pajak yang kurang dibayar yang dihitung sejak berakhirnya Masa Pajak untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
Ayat (3)
Ayat ini mengatur sanksi administrasi dari suatu ketetapan pajak karena melanggar kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d. Sanksi administrasi berupa kenaikan merupakan suatu jumlah proporsional yang harus ditambahkan pada pokok pajak yang kurang dibayar.
Besarnya sanksi administrasi berupa kenaikan berbeda-beda menurut jenis pajaknya, yaitu untuk jenis Pajak Penghasilan yang dibayar oleh Wajib Pajak sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen), untuk jenis Pajak Penghasilan yang dipotong oleh orang atau badan lain sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen), sedangkan untuk jenis Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen).
Ayat (4)
Untuk memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak berkenaan dengan pelaksanaan pemungutan pajak dengan sistem self assessment, apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sejak saat terutangnya pajak, berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau berakhirnya Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan surat ketetapan pajak, jumlah pembayaran pajak yang diberitahukan dalam Surat Pemberitahuan Masa atau Surat Pemberitahuan Tahunan pada hakikatnya telah menjadi tetap dengan sendirinya atau telah menjadi pasti karena hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ayat (5)
Apabila terhadap Wajib Pajak dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, untuk menentukan kerugian pada pendapatan negara, atas jumlah pajak yang terutang belum dikeluarkan surat ketetapan pajak.
Untuk mengetahui bahwa Wajib Pajak memang benar-benar melakukan tindak pidana di bidang perpajakan, harus dibuktikan melalui proses pengadilan yang dapat membutuhkan waktu lebih dari 5 (lima) tahun. Kemungkinan dapat terjadi bahwa Wajib Pajak yang disidik oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil, tetapi oleh penuntut umum tidak dituntut berdasarkan sanksi pidana perpajakan, misalnya Wajib Pajak yang dijatuhi pidana oleh pengadilan karena melakukan penyelundupan yang dalam putusan pengadiian tersebut menunjukkan adanya suatu jumlah objek pajak yang belum dikenai pajak.
Oleh karena itu, dalam rangka memperoleh kembali pajak yang terutang tersebut, dalam hal Wajib Pajak dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara berdasarkan putusan Pengadiian yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar masih dibenarkan untuk diterbitkan, ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar meskipun jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampaui.
Ayat (6)
Cukup Jelas.
Pasal 13A
Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, tidak dikenai sanksi pidana apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan oleh Wajib Pajak dan Wajib Pajak tersebut wajib melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar yang ditetapkan melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.
Penjelasan Pasal 13A
Pengenaan sanksi pidana merupakan upaya terakhir untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak. Namun, bagi Wajib Pajak yang melanggar pertama kali ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 tidak dikenai sanksi pidana, tetapi dikenai sanksi administrasi.
Oleh karena itu, Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara tidak dikenai sanksi pidana apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan Wajib Pajak. Dalam hal ini, Wajib Pajak tersebut wajib melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar.
Pasal 14
(1) | Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila: | ||
| a. | Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar; | |
| b. | dari hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung; | |
| c. | Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga; | |
| d. | pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi tidak membuat faktur pajak atau membuat faktur pajak, tetapi tidak tepat waktu; | |
| e. | pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang tidak mengisi faktur pajak secara lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, selain: | |
| | 1. | identitas pembeli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya; atau |
| | 2. | identitas pembeli serta nama dan tandatangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b dan huruf g Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, dalam hal penyerahan dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran; |
| f. | Pengusaha Kena Pajak melaporkan faktur pajak tidak sesuai dengan masa penerbitan faktur pajak; atau | |
| g. | Pengusaha Kena Pajak yang gagal berproduksi dan telah diberikan pengembalian Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6a) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya. | |
(2) | Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan surat ketetapan pajak. | ||
(3) | Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Tagihan Pajak. | ||
(4) | Terhadap pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, huruf e, atau huruf f masing-masing, selain wajib menyetor pajak yang terutang, dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak. | ||
(5) | Terhadap Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dari jumlah pajak yang ditagih kembali, dihitung dari tanggal penerbitan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak sampai dengan tanggal penerbitan Surat Tagihan Pajak, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. | ||
(6) | Tata cara penerbitan Surat Tagihan Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. |
Penjelasan Pasal 14
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Surat Tagihan Pajak menurut ayat ini disamakan kekuatan hukumnya dengan surat ketetapan pajak sehingga dalam hal penagihannya dapat juga dilakukan dengan Surat Paksa.
Ayat (3)
Ayat ini mengatur pengenaan sanksi administrasi berupa bunga atas Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan karena:
a. | Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar; atau |
b. | penelitian Surat Pemberitahuan yang menghasilkan pajak kurang dibayar karena terdapat salah tulis dan/atau salah hitung. |
Untuk jelasnya diberikan contoh cara penghitungan sebagai berikut:
a. | Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar. Pajak Penghasilan Pasal 25 tahun 2008 setiap bulan sebesar Rp 100.000.000,00 jatuh tempo misalnya tiap tanggal 15 Pajak Penghasilan Pasal 25 bulan Juni 2008 dibayar tepat waktu sebesar Rp 40.000.000,00. Atas kekurangan Pajak Penghasilan Pasal 25 tersebut diterbitkan Surat Tagihan Pajak pada tanggal 18 September 2008 dengan penghitungan sebagai berikut :
| |||||||||
b. | Hasil penelitian Surat Pemberitahuan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2008 yang disampaikan pada tanggal 31 Maret 2009 setelah dilakukan penelitian ternyata terdapat salah hitung yang menyebabkan Pajak Penghasilan kurang bayar sebesar Rp1.000.000,00. Atas kekurangan Pajak Penghasilan tersebut diterbitkan Surat Tagihan Pajak pada tanggal 12 Juni 2009 dengan penghitungan sebagai berikut:
|
Pengusaha Kena Pajak yang tidak membuat faktur pajak maupun Pengusaha Kena Pajak yang membuat faktur pajak, tetapi tidak tepat waktu atau tidak selengkapnya mengisi faktur pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.
Demikian pula bagi Pengusaha Kena Pajak yang membuat faktur pajak, tetapi melaporkannya tidak tepat waktu, dikenai sanksi yang sama. Sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak ditagih dengan Surat Tagihan Pajak, sedangkan pajak yang terutang ditagih dengan surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
Ayat (5)
Cukup Jelas.
Ayat (6)
Cukup Jelas.
Pasal 15
(1) | Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak apabila ditemukan data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan. |
(2) | Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut. |
(3) | Kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dikenakan apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan itu diterbitkan berdasarkan keterangan tertulis dari Wajib Pajak atas kehendak sendiri, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan. |
(4) | Apabila jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tetap dapat diterbitkan ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, dalam hal Wajib Pajak setelah jangka waktu 5 (lima) tahun tersebut dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. |
(5) | Tata cara penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. |
Penjelasan Pasal 15
Ayat (1)
Untuk menampung kemungkinan terjadinya suatu Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang ternyata telah ditetapkan lebih rendah atau pajak yang terutang dalam suatu Surat Ketetapan Pajak Nihil ditetapkan lebih rendah atau telah dilakukan pengembalian pajak yang tidak seharusnya sebagaimana telah ditetapkan dalam Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam Jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan merupakan koreksi atas surat ketetapan pajak sebelumnya. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan baru diterbitkan apabila sudah pernah diterbitkan surat ketetapan pajak. Pada prinsipnya untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan perlu dilakukan pemeriksaan. Jika surat ketetapan pajak sebelumnya diterbitkan berdasarkan pemeriksaan, perlu dilakukan pemeriksaan ulang sebelum menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan. Dalam hal surat ketetapan pajak sebelumnya diterbitkan berdasarkan keterangan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan juga harus diterbitkan berdasarkan pemeriksaan, tetapi bukan pemeriksaan ulang.
Dengan demikian, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tidak akan mungkin diterbitkan sebelum didahului dengan penerbitan surat ketetapan pajak. Penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dilakukan dengan syarat adanya data baru termasuk data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan pajak yang terutang dalam surat ketetapan pajak sebelumnya. Sejalan dengan itu, setelah Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan sebagai akibat telah lewat waktu 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan diterbitkan hanya dalam hal ditemukan data baru termasuk data yang semula belum terungkap. Dalam hal masih ditemukan lagi data baru termasuk data yang semula belum terungkap pada saat diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan/atau data baru termasuk data yang semula belum terungkap yang diketahui kemudian oleh Direktur Jenderal Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan masih dapat diterbitkan lagi.
Yang dimaksud dengan "data baru" adalah data atau keterangan mengenai segala sesuatu yang diperlukan untuk menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang yang oleh Wajib Pajak belum diberitahukan pada waktu penetapan semula, baik dalam Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya maupun dalam pembukuan perusahaan yang diserahkan pada waktu pemeriksaan.
Selain itu, yang termasuk dalam data baru adalah data yang semula belum terungkap, yaitu data yang:
a. | tidak diungkapkan oleh Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan beserta lampirannya (termasuk laporan keuangan); dan/atau |
b. | pada waktu pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan data dan/atau memberikan keterangan lain secara benar, lengkap, dan terinci sehingga tidak memungkinkan fiskus dapat menerapkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dengan benar dalam menghitung jumlah pajak yang terutang. |
Walaupun Wajib Pajak telah memberitahukan data dalam Surat Pemberitahuan atau mengungkapkannya pada waktu pemeriksaan, tetapi apabila memberitahukannya atau mengungkapkannya dengan cara sedemikian rupa sehingga membuat fiskus tidak mungkin menghitung besarnya Jumlah pajak yang terutang secara benar sehingga jumlah pajak yang terutang ditetapkan kurang dari yang seharusnya, hal tersebut termasuk dalam pengertian data yang semula belum terungkap.
Contoh:
a. | Dalam Surat Pemberitahuan dan/atau laporan keuangan tertulis adanya biaya ikian Rp 10.000.000,00, sedangkan sesungguhnya biaya tersebut terdiri atas Rp 5.000.000.00 biaya iklan di media massa dan Rp 5.000.000.00 sisanya adalah sumbangan atau hadiah yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Apabila pada saat penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan perincian tersebut sehingga fiskus tidak melakukan koreksi atas pengeluaran berupa sumbangan atau hadiah sehingga pajak yang terutang tidak dapat dihitung secara benar, data mengenai pengeluaran berupa sumbangan atau hadiah tersebut tergolong data yang semula belum terungkap. |
b. | Dalam Surat Pemberitahuan dan/atau laporan keuangan disebutkan pengelompokan harta tetap yang disusutkan tanpa disertai dengan perincian harta pada setiap kelompok yang dimaksud, demikian pula pada saat pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan perincian tersebut sehingga fiskus tidak dapat meneliti kebenaran pengelompokan dimaksud, misalnya harta yang seharusnya termasuk dalam kelompok harta berwujud bukan bangunan kelompok 3, tetapi dikelompokkan ke dalam kelompok 2. Akibatnya, atas kesalahan pengelompokan harta tersebut tidak dilakukan koreksi, sehingga pajak yang terutang tidak dapat dihitung secara benar. Apabila setelah itu diketahui adanya data yang menyatakan bahwa pengelompokan harta tersebut tidak benar, maka data tersebut termasuk data yang semula belum terungkap. |
c. | Pengusaha Kena Pajak melakukan pembelian sejumlah barang dari Pengusaha Kena Pajak lain dan atas pembelian tersebut oleh Pengusaha Kena Pajak penjual diterbitkan faktur pajak. Barang-barang tersebut sebagian digunakan untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usahanya, seperti pengeluaran untuk kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen, dan sebagian lainnya tidak mempunyai hubungan langsung. Seluruh faktur pajak tersebut dikreditkan sebagai Pajak Masukan oleh Pengusaha Kena Pajak pembeli. Apabila pada saat penetapan semula Pengusaha Kena Pajak tidak mengungkapkan rincian penggunaan barang tersebut dengan benar sehingga tidak dilakukan koreksi atas pengkreditan Pajak Masukan tersebut oleh fiskus, sebagai akibatnya Pajak Pertambahan Nilai yang terutang tidak dapat dihitung secara benar. Apabila setelah itu diketahui adanya data atau keterangan tentang kesalahan mengkreditkan Pajak Masukan yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha dimaksud, data atau keterangan tersebut merupakan data yang semula belum terungkap. |
Ayat (2)
Dalam hal setelah diterbitkan surat ketetapan pajak ternyata masih ditemukan data baru termasuk data yang belum terungkap yang belum diperhitungkan sebagai dasar penetapan tersebut, atas pajak yang kurang dibayar ditagih dengan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan ditambah sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari pajak yang kurang dibayar.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Dalam hal Wajib Pajak dipidana karena melakukan tindak pidana yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara berupa pajak berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tetap dapat diterbitkan, ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat puluh delapan persen) dari Jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar meskipun jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampaui.
Ayat (5)
Cukup Jelas.
Pasal 16
(1) | Atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya, Direktur Jenderal Pajak dapat membetulkan surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga, yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. |
(2) | Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permohonan pembetulan diterima, harus memberi keputusan atas permohonan pembetulan yang diajukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(3) | Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah lewat, tetapi Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan pembetulan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan. |
(4) | Apabila diminta oleh Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis mengenai hal-hal yang menjadi dasar untuk menolak atau mengabulkan sebagian permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
Penjelasan Pasal 16
Ayat (1)
Pembetulan menurut ayat ini dilaksanakan dalam rangka menjalankan tugas pemerintahan yang baik sehingga apabila terdapat kesalahan atau kekeliruan yang bersifat manusiawi perlu dibetulkan sebagaimana mestinya. Sifat kesalahan atau kekeliruan tersebut tidak mengandung persengketaan antara fiskus dan Wajib Pajak. Apabila ditemukan kesalahan atau kekeliruan baik oleh fiskus maupun berdasarkan permohonan Wajib Pajak, kesalahan atau kekeliruan tersebut harus dibetulkan. Yang dapat dibetulkan karena kesalahan atau kekeliruan adalah sebagai berikut:
a. | surat ketetapan pajak, yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; |
b. | Surat Tagihan Pajak; |
c. | Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak; |
d. | Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga; |
e. | Surat Keputusan Pembetulan; |
f. | Surat Keputusan Keberatan; |
g. | Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi; |
h. | Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi; |
i. | Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak; atau |
j. | Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak. |
Ruang Lingkup pembetulan yang diatur pada ayat ini terbatas pada kesalahan atau kekeliruan sebagai akibat dari:
a. | kesalahan tulis, antara lain kesalahan yang dapat berupa nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak, nomor surat ketetapan pajak, jenis pajak, Masa Pajak atau Tahun Pajak, dan tanggal jatuh tempo; |
b. | kesalahan hitung, antara lain kesalahan yang berasal dari penjumlahan dan/atau pengurangan dan/atau perkalian dan/atau pembagian suatu bilangan; atau |
c. | kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan, yaitu kekeliruan dalam penerapan tarif, kekeliruan penerapan persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto, kekeliruan penerapan sanksi administrasi, kekeliruan Penghasilan Tidak Kena Pajak, kekeliruan penghitungan Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan, dan kekeliruan dalam pengkreditan pajak. |
Pengertian "membetulkan" pada ayat ini, antara lain, menambahkan, mengurangkan, atau menghapuskan, tergantung pada sifat kesalahan dan kekeliruannya.
Jika masih terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan, Wajib Pajak dapat mengajukan lagi permohonan pembetulan kepada Direktur Jenderal Pajak, atau Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pembetulan lagi karena jabatan.
Ayat (2)
Untuk memberikan kepastian hukum, permohonan pembetulan yang diajukan oleh Wajib Pajak harus diputuskan dalam batas waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak permohonan diterima.
Ayat (3)
Dalam hal batas waktu 6 (enam) bulan terlampaui, tetapi Direktur Jenderal Pajak belum memberikan keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap dikabulkan.
Dengan dianggap dikabulkannya permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Pembetulan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak.
Ayat (4)
Cukup Jelas.
Pasal 17
(1) | Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang. |
(2) | Berdasarkan permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak, setelah meneliti kebenaran pembayaran pajak, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila terdapat pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. |
(3) | Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar masih dapat diterbitkan lagi apabila berdasarkan hasil pemeriksaan dan/atau data baru ternyata pajak yang lebih dibayar jumlahnya lebih besar daripada kelebihan pembayaran pajak yang telah ditetapkan. |
Penjelasan Pasal 17
Ayat (1)
Menurut ketentuan ayat ini Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan untuk:
a. | Pajak Penghasilan apabila jumlah kredit pajak lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang; |
b. | Pajak Pertambahan Nilai apabila jumlah kredit pajak lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang. Jika terdapat pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, jumlah pajak yang terutang dihitung dengan cara jumlah Pajak Keluaran dikurangi dengan pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai tersebut; atau |
c. | Pajak Penjualan Atas Barang Mewah apabila jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang. |
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar tersebut diterbitkan setelah dilakukan pemeriksaan atas Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak yang menyatakan kurang bayar, nihil, atau lebih bayar yang tidak disertai dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
Apabila Wajib Pajak setelah menerima Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dan menghendaki pengembalian kelebihan pembayaran pajak, wajib mengajukan permohonan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2).
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Pasal 17A
(1) | Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Nihil apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang, atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak atau tidak ada pembayaran pajak. |
(2) | Tata cara penerbitan Surat Ketetapan Pajak Nihil diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. |
Penjelasan 17A
Ayat (1)
Menurut ketentuan ayat ini, Surat Ketetapan Pajak Nihil diterbitkan untuk:
a. | Pajak Penghasilan apabila jumlah kredit pajak sama dengan pajak yang terutang atau pajak yang tidak terutang dan tidak ada kredit pajak; |
b. | Pajak Pertambahan Nilai apabila jumlah kredit pajak sama dengan jumlah paJak yang terutang, atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak. Jika terdapat pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, jumlah pajak yang terutang dihitung dengan cara jumlah Pajak Keluaran dikurangi dengan pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai tersebut; atau |
c. | Pajak Penjualan Atas Barang Mewah apabila jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang atau pajak tidak terutang dan tidak ada pembayaran pajak. |
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Pasal 17B
(1) | Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, selain permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C dan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17D, harus menerbitkan surat ketetapan pajak paling lama 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap. |
(1a) | Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap Wajib Pajak yang sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. |
(2) | Apabila setelah melampaui jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dianggap dikabulkan dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar harus diterbitkan paling lama 1 (satu) bulan setelah jangka waktu tersebut berakhir. |
(3) | Apabila Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar terlambat diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepada Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dihitung sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan saat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar. |
(4) | Apabila pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1a) tidak dilanjutkan dengan penyidikan; dilanjutkan dengan penyidikan, tetapi tidak dilanjutkan dengan penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan; atau dilanjutkan dengan penyidikan dan penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan, tetapi diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dan dalam hal kepada Wajib Pajak diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, kepada Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak berakhirnya jangka waktu 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan saat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. |
Penjelasan 17B
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "surat permohonan telah diterima secara lengkap" adalah Surat Pemberitahuan yang telah diisi lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
Surat ketetapan pajak yang diterbitkan berdasarkan hasil pemeriksaan atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dapat berupa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Nihil atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
Ayat (1a)
Yang dimaksud dengan "sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan" adalah dimulai sejak surat pemberitahuan pemeriksaan bukti permulaan disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak.
Ayat (2)
Batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum terhadap permohonan Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak sehingga bila batas waktu tersebut dilampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan suatu keputusan, permohonan tersebut dianggap dikabulkan. Selain itu, batas waktu tersebut dimaksudkan pula untuk kepentingan tertib administrasi perpajakan.
Ayat (3)
Jika Direktur Jenderal Pajak terlambat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, kepada Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan, dihitung sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan saat Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan, dan bagian dari bulan dihitung 1 (satu) bulan.
Ayat (4)
Cukup Jelas.
Pasal 17C
(1) | Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak dengan kriteria tertentu, menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Penghasilan, dan paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Pertambahan Nilai. | |
(2) | Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: | |
| a. | tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan; |
| b. | tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali tunggakan pajak yang telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak; |
| c. | Laporan Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan keuangan pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian selama 3 (tiga) tahun berturut-turut; dan |
| d. | tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir. |
(3) | Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. | |
(4) | Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan menerbitkan surat ketetapan pajak, setelah melakukan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak. | |
(5) | Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, jumlah kekurangan pajak ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pembayaran pajak. | |
(6) | Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak apabila: | |
| a. | terhadap Wajib Pajak tersebut dilakukan tindakan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan; |
| b. | terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa untuk suatu jenis pajak tertentu 2 (dua) Masa Pajak berturut-turut; |
| c. | terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa untuk suatu jenis pajak tertentu 3 (tiga) Masa Pajak dalam 1 (satu) tahun kalender; atau |
| d. | terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan. |
(7) | Tata cara penetapan Wajib Pajak dengan kriteria tertentu diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. |
Penjelasan 17C
Ayat (1)
Terhadap permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak untuk Wajib Pajak dengan kriteria tertentu setelah dilakukan penelitian harus diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama:
a. | 3 (tiga) bulan untuk Pajak Penghasilan |
b. | 1 (satu) bulan untuk Pajak Pertambahan Nilai |
sejak permohonan di terima secara lengkap, dalam arti bahwa Surat Pemberitahuan telah diisi lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), ayat (1a), dan ayat (6). Permohonan dapat disampaikan dengan cara mengisi kolom dalam Surat Pemberitahuan atau dengan surat tersendiri. Pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak dapat diberikan setelah Direktur Jenderal Pajak melakukan konfirmasi kebenaran kredit pajak.
Ayat (2)
Termasuk dalam pengertian kepatuhan penyampaian Surat Pemberitahuan adalah:
a. | tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan dalam 3 (tiga) tahun terakhir; |
b. | dalam Tahun Pajak terakhir, penyampaian Surat Pemberitahuan Masa untuk Masa Pajak Januari sampai dengan November yang terlambat tidak lebih dari 3 (tiga) Masa Pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak berturut-turut; dan |
c. | Surat Pemberitahuan Masa yang terlambat sebagaimana dimaksud dalam huruf b telah disampaikan tidak lewat dari batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Masa Pajak berikutnya. |
d. | Bahwa Wajib Pajak tidak mempunyai tunggakan pajak adalah keadaan pada tanggal 31 Desember. Utang pajak yang belum melewati batas akhir pelunasan tidak termasuk dalam pengertian tunggakan pajak. |
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang telah memperoleh pengembalian pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Surat ketetapan pajak tersebut dapat berupa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, atau Surat Ketetapan Pajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
Ayat (5)
Untuk mendorong Wajib Pajak dalam melaporkan jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, maka apabila dari hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pembayaran pajak.
Untuk jelasnya cara penghitungan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan pengenaan sanksi administrasi berupa kenaikan tersebut diberikan contoh sebagai berikut:
1) | Pajak Penghasilan | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
| - | Wajib Pajak telah memperoleh pengembalian pendahuluan kelebihan pajak sebesar Rp 80.000.000,00. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
| - | Dari pemeriksaan diperoleh hasil sebagai berikut:
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
| Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dengan penghitungan sebagai berikut:
| |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
2) | Pajak Pertambahan Nilai | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
| - | Pengusaha Kena Pajak telah memperoleh pengembalian pendahuluan kelebihan pajak sebesar Rp 60.000.000,00 | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
| - | Dari pemeriksaan diperoleh hasil sebagai berikut:
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
| Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dengan penghitungan sebagai berikut:
|
Cukup Jelas.
Ayat (7)
Cukup Jelas.
Pasal 17D
(1) | Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu, menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Penghasilan, dan paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Pertambahan Nilai. | |
(2) | Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak adalah: | |
| a. | Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas; |
| b. | Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran usaha dan jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah tertentu; |
| c. | Wajib Pajak badan dengan jumlah peredaran usaha dan jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah tertentu; atau |
| d. | Pengusaha Kena Pajak yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan jumlah penyerahan dan jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah tertentu. |
(3) | Batasan jumlah peredaran usaha, jumlah penyerahan, dan jumlah lebih bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. | |
(4) | Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menerbitkan surat ketetapan pajak setelah melakukan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak. | |
(5) | Jika berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, jumlah pajak yang kurang dibayar ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen). |
Penjelasan Pasal 17D
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Untuk mengurangi penyalahgunaan pemberian kemudahan percepatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan setelah memberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Ayat (5)
Untuk memotivasi Wajib Pajak agar melaporkan jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, apabila dari hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, jumlah pajak yang kurang dibayar ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pembayaran pajak.
Pasal 17E
Orang pribadi yang bukan subjek pajak dalam negeri yang melakukan pembelian Barang Kena Pajak di dalam daerah pabean yang tidak dikonsumsi di daerah pabean dapat diberikan pengembalian Pajak Pertambahan Nilai yang telah dibayar, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Penjelasan Pasal 17E
Cukup Jelas.
BAB IV
PENAGIHAN PAJAK
PENAGIHAN PAJAK
Pasal 18
(1) | Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, merupakan dasar penagihan pajak. |
(2) | Dihapus. |
Penjelasan Pasal 18
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Dihapus.
Pasal 19
(1) | Apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, serta Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, pada saat jatuh tempo pelunasan tidak atau kurang dibayar, atas jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar itu dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk seluruh masa, yang dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal pelunasan atau tanggal diterbitkannya Surat Tagihan Pajak, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. |
(2) | Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan mengangsur atau menunda pembayaran pajak juga dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dari jumlah pajak yang masih harus dibayar dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. |
(3) | Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan menunda penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan dan ternyata penghitungan sementara pajak yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5) kurang dari jumlah pajak yang sebenarnya terutang atas kekurangan pembayaran pajak tersebut, dikenai bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung dari saat berakhirnya batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b dan huruf c sampai dengan tanggal dibayarnya kekurangan pembayaran tersebut dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. |
Penjelasan Pasal 19
Ayat (1)
Ayat ini mengatur pengenaan sanksi administrasi berupa bunga berdasarkan jumlah pajak yang masih harus dibayar yang tidak atau kurang dibayar pada saat jatuh tempo pelunasan atau terlambat dibayar.
Contoh:
a. | Jumlah pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebesar Rp 10.000.000,00 yang diterbitkan tanggal 7 Oktober 2008, dengan batas akhir pelunasan tanggal 6 November 2008. Jumlah pembayaran sampai dengan tanggal 6 November 2008 Rp 6.000.000,00. Pada tanggal 1 Desember 2008 diterbitkan Surat Tagihan Pajak dengan perhitungan sebagai berikut:
| ||||||||
b. | Dalam hal terhadap Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana tersebut pada huruf a, Wajib Pajak membayar Rp 10.000.000,00 pada tanggal 3 Desember 2008 dan pada tanggal 5 Desember 2008 diterbitkan Surat Tagihan Pajak, sanksi administrasi berupa bunga dihitung sebagai berikut:
|
Ayat ini mengatur pengenaan sanksi administrasi berupa bunga dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan mengangsur atau menunda pembayaran pajak.
Contoh:
a. | Wajib Pajak menerima Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebesar Rp 1.120.000.00 yang diterbitkan pada tanggal 2 Januari 2009 dengan batas akhir pelunasan tanggal 1 Februari 2009. Wajib Pajak tersebut diperbolehkan untuk mengangsur pembayaran pajak dalam jangka waktu 5 (lima) bulan dengan jumlah yang tetap sebesar Rp 224.000,00. Sanksi administrasi berupa bunga untuk setiap angsuran dihitung sebagai berikut:
| ||||||||||||||||||||
b. | Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf a diperbolehkan untuk menunda pembayaran pajak sampai dengan tanggal 30 Juni 2009.Sanksi administrasi berupa bunga atas penundaan pembayaran Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut sebesar 5 x 2% x Rp 1.120.000,00= Rp 112.000.00. |
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Pasal 20
(1) | Atas jumlah pajak yang masih harus dibayar, yang berdasarkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, yang tidak dibayar oleh Penanggung Pajak sesuai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) dilaksanakan penagihan pajak dengan Surat Paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. | |
(2) | Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penagihan seketika dan sekaligus dilakukan apabila: | |
| a. | Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu; |
| b. | Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia; |
| c. | terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan usaha atau menggabungkan atau memekarkan usaha, atau memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau yang dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk lainnya; |
| d. | badan usaha akan dibubarkan oleh negara; atau |
| e. | terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan. |
(3) | Penagihan pajak dengan Surat Paksa dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. |
Penjelasan Pasal 20
Ayat (1)
Apabila jumlah utang pajak tidak atau kurang dibayar sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran atau sampai dengan tanggal jatuh tempo penundaan pembayaran, atau Wajib Pajak tidak memenuhi angsuran pembayaran pajak, penagihannya dilaksanakan dengan Surat Paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Penagihan pajak dengan Surat Paksa tersebut dilaksanakan terhadap Penanggung Pajak.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "penagihan seketika dan sekaligus" adalah tindakan penagihan pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang pajak dari semua jenis pajak, Masa Pajak, dan Tahun Pajak.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Pasal 21
(1) | Negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang milik Penanggung Pajak. | |
(2) | Ketentuan tentang hak mendahulu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pokok pajak, sanksi administrasi berupa bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak. | |
(3) | Hak mendahulu untuk utang pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali terhadap: | |
| a. | biaya perkara yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak; |
| b. | biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud; dan/atau |
| c. | biaya perkara, yang hanya disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu warisan. |
(3a) | Dalam hal Wajib Pajak dinyatakan pailit, bubar, atau dilikuidasi maka kurator, likuidator, atau orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan dilarang membagikan harta Wajib Pajak dalam pailit, pembubaran atau likuidasi kepada pemegang saham atau kreditur lainnya sebelum menggunakan harta tersebut untuk membayar utang pajak Wajib Pajak tersebut. | |
(4) | Hak mendahulu hilang setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal diterbitkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah. | |
(5) | Perhitungan jangka waktu hak mendahulu ditetapkan sebagai berikut: | |
| a. | dalam hal Surat Paksa untuk membayar diberitahukan secara resmi maka jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dihitung sejak pemberitahuan Surat Paksa; atau |
| b. | dalam hal diberikan penundaan pembayaran atau persetujuan angsuran pembayaran maka jangka waktu 5 (lima) tahun tersebut dihitung sejak batas akhir penundaan diberikan. |
Penjelasan Pasal 21
Ayat (1)
Ayat ini menetapkan kedudukan negara sebagai kreditur preferen yang dinyatakan mempunyai hak mendahulu atas barang-barang milik Penanggung Pajak yang akan dilelang di muka umum. Pembayaran kepada kreditur lain diselesaikan setelah utang pajak dilunasi.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (3a)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Cukup Jelas.
Ayat (5)
Cukup Jelas.
Pasal 22
(1) | Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak, daluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penerbitan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali. | |
(2) | Daluwarsa penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila: | |
| a. | diterbitkan Surat Paksa; |
| b. | ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak langsung; |
| c. | diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5), atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4); atau |
| d. | dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. |
Penjelasan Pasal 22
Ayat (1)
Saat daluwarsa penagihan pajak ini perlu ditetapkan untuk memberi kepastian hukum kapan utang pajak tersebut tidak dapat ditagih lagi.
Daluwarsa penagihan pajak 5 (lima) tahun dihitung sejak Surat Tagihan Pajak dan surat ketetapan pajak diterbitkan. Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan pembetulan, keberatan, banding atau Peninjauan Kembali, daluwarsa penagihan pajak 5 (lima) tahun dihitung sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
Ayat (2)
Daluwarsa penagihan pajak dapat melampaui 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila:
a. | Direktur Jenderal Pajak menerbitkan dan memberitahukan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak yang tidak melakukan pembayaran hutang pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran. Dalam hal seperti itu, daluwarsa penagihan pajak dihitung sejak tanggal pemberitahuan Surat Paksa tersebut. |
b. | Wajib Pajak menyatakan pengakuan utang pajak dengan cara mengajukan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran utang pajak sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran. Dalam hal seperti itu, daluwarsa penagihan pajak dihitung sejak tanggal surat permohonan angsuran atau penundaan pembayaran utang pajak diterima oleh Direktur Jenderal Pajak. |
c. | Terdapat Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan yang diterbitkan terhadap Wajib Pajak karena Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dan tindak pidana lain yang dapat merugikan pendapatan Negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dalam hal seperti itu, daluwarsa penagihan pajak dihitung sejak tanggal penerbitan surat ketetapan pajak tersebut. |
d. | Terhadap Wajib Pajak dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, daluwarsa penagihan pajak dihitung sejak tanggal penerbitan Surat Perintah Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. |
Pasal 23
(1) | Dihapus. | |
(2) | Gugatan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap: | |
| a. | pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang; |
| b. | keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak; |
| c. | keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26; atau |
| d. | penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan |
| hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak. | |
(3) | Dihapus. |
Penjelasan Pasal 23
Ayat (1)
Dihapus.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Dihapus.
Pasal 24
Tata cara penghapusan piutang pajak dan penetapan besarnya penghapusan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Penjelasan Pasal 24
Menteri Keuangan mengatur tata cara penghapusan dan menentukan besarnya jumlah piutang pajak yang tidak dapat ditagih lagi, antara lain karena Wajib Pajak telah meninggal dunia dan tidak mempunyai harta warisan atau kekayaan, Wajib Pajak badan yang telah selesai proses pailitnya, atau Wajib Pajak yang tidak memenuhi syarat lagi sebagai subjek pajak dan hak untuk melakukan penagihan pajak telah daluwarsa. Melalui cara ini dapat diperkirakan secara efektif besarnya saldo piutang pajak yang akan dapat ditagih atau dicairkan.
BAB V
KEBERATAN DAN BANDING
KEBERATAN DAN BANDING
Pasal 25
(1) | Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu: | |
| a. | Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar; |
| b. | Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan; |
| c. | Surat Ketetapan Pajak Nihil; |
| d. | Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau |
| e. | pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. |
(2) | Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang terutang, jumlah pajak yang dipotong atau dipungut, atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan yang menjadi dasar penghitungan. | |
(3) | Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim surat ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya. | |
(3a) | Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak, Wajib Pajak wajib melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, sebelum surat keberatan disampaikan. | |
(4) | Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (3a) bukan merupakan surat keberatan sehingga tidak dipertimbangkan. | |
(5) | Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang ditunjuk untuk menerima surat keberatan atau tanda pengiriman surat keberatan melalui pos dengan bukti pengiriman surat, atau melalui cara lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan menjadi tanda bukti penerimaan surat keberatan. | |
(6) | Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak, penghitungan rugi, atau pemotongan atau pemungutan pajak. | |
(7) | Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, jangka waktu pelunasan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan. | |
(8) | Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak termasuk sebagai utang pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (1a). | |
(9) | Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan. | |
(10) | Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (9) tidak dikenakan. |
Penjelasan Pasal 25
Ayat (1)
Apabila Wajib Pajak berpendapat bahwa jumlah rugi, jumlah pajak, dan pemotongan atau pemungutan pajak tidak sebagaimana mestinya, Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak.
Keberatan yang diajukan adalah mengenai materi atau isi dari ketetapan pajak, yaitu jumlah rugi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, jumlah besarnya pajak, atau pemotongan atau pemungutan pajak. Yang dimaksud dengan "suatu" pada ayat ini adalah 1 (satu) keberatan harus diajukan terhadap 1 (satu) jenis pajak dan 1 (satu) Masa Pajak atau Tahun Pajak.
Contoh:
Keberatan atas ketetapan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2008 dan Tahun Pajak 2009 harus diajukan masing-masing dalam 1 (satu) surat keberatan tersendiri. Untuk 2 (dua) Tahun Pajak tersebut harus diajukan 2 (dua) buah surat keberatan.
Yang dimaksud dengan "alasan-alasan yang menjadi dasar penghitungan" adalah alasan-alasan yang jelas dan dilampiri dengan fotokopi surat ketetapan pajak, bukti pemungutan, atau bukti pemotongan.
Ayat (3)
Batas waktu pengajuan surat keberatan ditentukan dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim surat ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan maksud agar Wajib Pajak mempunyai waktu yang cukup memadai untuk mempersiapkan surat keberatan beserta alasannya. Apabila ternyata bahwa batas waktu 3 (tiga) bulan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh Wajib Pajak karena keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak (force majeur), tenggang waktu selama 3 (tiga) bulan tersebut masih dapat dipertimbangkan untuk diperpanjang oleh Direktur Jenderal Pajak.
Ayat (3a)
Ketentuan ini mengatur bahwa persyaratan pengajuan keberatan bagi Wajib Pajak adalah harus melunasi terlebih dahulu sejumlah kewajiban perpajakannya yang telah disetujui Wajib Pajak pada saat pembahasan akhir hasil pemeriksaan. Pelunasan tersebut harus dilakukan sebelum Wajib Pajak mengajukan keberatan.
Ayat (4)
Permohonan keberatan yang tidak memenuhi salah satu syarat sebagaimana dimaksud dalam pasal ini bukan merupakan surat keberatan, sehingga tidak dapat dipertimbangkan dan tidak diterbitkan Surat Keputusan Keberatan.
Ayat (5)
Tanda penerimaan surat yang telah diberikan oleh pegawai Direktorat Jenderal Pajak atau oleh pos berfungsi sebagai tanda terima surat keberatan apabila surat tersebut memenuhi syarat sebagai surat keberatan. Dengan demikian, batas waktu penyelesaian keberatan dihitung sejak tanggal penerimaan surat dimaksud. Apabila surat Wajib Pajak tidak memenuhi syarat sebagai surat keberatan dan Wajib Pajak memperbaikinya dalam batas waktu penyampaian surat keberatan, batas waktu penyelesaian keberatan dihitung sejak diterima surat berikutnya yang memenuhi syarat sebagai surat keberatan.
Ayat (6)
Agar Wajib Pajak dapat menyusun keberatan dengan alasan yang kuat, Wajib Pajak diberi hak untuk meminta dasar pengenaan pajak, penghitungan rugi, atau pemotongan atau pemungutan pajak yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, Direktur Jenderal Pajak berkewajiban untuk memenuhi permintaan tersebut.
Ayat (7)
Ayat ini mengatur bahwa Jatuh tempo pembayaran yang tertera dalam surat ketetapan pajak tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan. Penangguhan jangka waktu pelunasan pajak menyebabkan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% per bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 tidak diberlakukan atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan.
Ayat (8)
Cukup Jelas.
Ayat (9)
Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian dan Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan banding, jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan harus dilunasi paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan, dan penagihan dengan Surat Paksa akan dilaksanakan apabila Wajib Pajak tidak melunasi utang pajak tersebut. Di samping itu, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen).
Contoh:
Untuk tahun pajak 2008, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp 1.000.000.000,00 diterbitkan terhadap PT A. Dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, Wajib Pajak hanya menyetujui pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp 200.000.000.00. Wajib Pajak telah melunasi sebagian SKPKB tersebut sebesar Rp 200.000.000,00 dan kemudian mengajukan keberatan atas koreksi lainnya. Direktur Jenderal Pajak mengabulkan sebagian keberatan Wajib Pajak dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar menjadi sebesar Rp 750.000.000,00. Dalam hal ini, Wajib Pajak tidak dikenai sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 19, tetapi dikenai sanksi sesuai dengan ayat ini, yaitu sebesar 50% x (Rp 750.000.000.00-Rp 200.000.000,00) = Rp 275.000.000,00.
Ayat (10)
Cukup Jelas.
Pasal 26
(1) | Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan. |
(2) | Sebelum surat keputusan diterbitkan, Wajib Pajak dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis. |
(3) | Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa mengabulkan seluruhnya atau sebagian, menolak atau menambah besarnya jumlah pajak yang masih harus dibayar. |
(4) | Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b dan huruf d, Wajib Pajak yang bersangkutan harus dapat membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak tersebut. |
(5) | Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan. |
Penjelasan Pasal 26
Ayat (1)
Terhadap surat keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak, kewenangan penyelesaian dalam tingkat pertama diberikan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan ketentuan batasan waktu penyelesaian keputusan atas keberatan Wajib Pajak ditetapkan paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima.
Dengan ditentukannya batas waktu penyelesaian keputusan atas keberatan tersebut, berarti akan diperoleh suatu kepastian hukum bagi Wajib Pajak selain terlaksananya administrasi perpajakan.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Ayat ini mengharuskan Wajib Pajak membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan terhadap pajak-pajak yang ditetapkan secara jabatan. Surat ketetapan pajak secara jabatan tersebut diterbitkan karena Wajib Pajak tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan meskipun telah ditegur secara tertulis, tidak memenuhi kewajiban menyelenggarakan pembukuan, atau menolak untuk memberikan kesempatan kepada pemeriksa memasuki tempat-tempat tertentu yang dipandang perlu, dalam rangka pemeriksaan guna menetapkan besarnya jumlah pajak yang terutang. Apabila Wajib Pajak tidak dapat membuktikan ketidakbenaran surat ketetapan pajak secara jabatan, pengajuan keberatannya ditolak.
Ayat (5)
Cukup Jelas.
Pasal 26A
(1) | Tata cara pengajuan dan penyelesaian keberatan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. |
(2) | Tata cara pengajuan dan penyelesaian keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), antara lain, mengatur tentang pemberian hak kepada Wajib Pajak untuk hadir memberikan keterangan atau memperoleh penjelasan mengenai keberatannya. |
(3) | Apabila Wajib Pajak tidak menggunakan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), proses keberatan tetap dapat diselesaikan. |
(4) | Wajib Pajak yang mengungkapkan pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain dalam proses keberatan yang tidak diberikan pada saat pemeriksaan, selain data dan informasi yang pada saat pemeriksaan belum diperoleh Wajib Pajak dari pihak ketiga, pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain dimaksud tidak dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatannya. |
Penjelasan Pasal 26A
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Agar dapat memberikan kesempatan yang lebih luas kepada Wajib Pajak untuk memperoleh keadilan dalam penyelesaian keberatannya, dalam tata cara sebagaimana dimaksud pada ayat ini diatur, antara lain, Wajib Pajak dapat hadir untuk memberikan keterangan atau memperoleh penjelasan mengenai keberatannya.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Cukup Jelas.
Pasal 27
(1) | Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak atas Surat Keputusan Keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1). |
(2) | Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan pengadilan khusus di lingkungan peradilan tata usaha negara. |
(3) | Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas paling lama 3 (tiga) bulan sejak Surat Keputusan Keberatan diterima dan dilampiri dengan salinan Surat Keputusan Keberatan tersebut. |
(4) | Dihapus. |
(4a) | Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan permohonan banding, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar Surat Keputusan Keberatan yang diterbitkan. |
(5) | Dihapus. |
(5a) | Dalam hal Wajib Pajak mengajukan banding, jangka waktu pelunasan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), ayat (3a), atau Pasal 25 ayat (7), atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding. |
(5b) | Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5a) tidak termasuk sebagai utang pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (1a). |
(5c) | Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan banding belum merupakan pajak yang terutang sampai dengan Putusan Banding diterbitkan. |
(5d) | Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan. |
(6) | Badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dalam Pasal 23 ayat (2) diatur dengan undang-undang. |
Penjelasan Pasal 27A
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Dihapus.
Ayat (4a)
Cukup Jelas.
Ayat (5)
Dihapus.
Ayat (5a)
Ayat ini mengatur bahwa bagi Wajib Pajak yang mengajukan banding, jangka waktu pelunasan pajak yang diajukan banding tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding. Penangguhan Jangka waktu pelunasan pajak menyebabkan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 tidak diberlakukan atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan.
Ayat (5b)
Cukup Jelas.
Ayat (5c)
Cukup Jelas.
Ayat (5d)
Dalam hal permohonan banding Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan harus dilunasi paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding, dan penagihan dengan Surat Paksa akan dilaksanakan apabila Wajib Pajak tidak melunasi utang pajak tersebut. Di samping itu, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) sebagaimana dimaksud pada ayat ini.
Contoh:
Untuk tahun pajak 2008, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp 1.000.000.000,00 diterbitkan terhadap PT A. Dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, Wajib Pajak hanya menyetujui pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp 200.000.000,00. Wajib Pajak telah melunasi sebagian SKPKB tersebut sebesar Rp 200.000.000,00 dan kemudian mengajukan keberatan atas koreksi lainnya. Direktur Jenderal Pajak mengabulkan sebagian keberatan Wajib Pajak dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar menjadi sebesar Rp 750.000.000,00.
Selanjutnya Wajib Pajak mengajukan permohonan banding dan oleh Pengadilan Pajak diputuskan besarnya pajak yang masih harus dibayar menjadi sebesar Rp 450.000.000,00. Dalam hal ini baik sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 maupun sanksi administrasi berupa denda sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (9) tidak dikenakan. Namun, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sesuai dengan ayat ini, yaitu sebesar 100% x (Rp 450.000.000,00 - Rp 200.000.000.00) = Rp 250.000.000,00.
Ayat (6)
Cukup Jelas.
Pasal 27A
(1) | Apabila pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali dikabulkan sebagian atau seluruhnya, selama pajak yang masih harus dibayar sebagaimana dimaksud dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar yang telah dibayar menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, kelebihan pembayaran dimaksud dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dengan ketentuan sebagai berikut: | |
| a. | untuk Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali; atau |
| b. | untuk Surat Ketetapan Pajak Nihil dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dihitung sejak tanggal penerbitan surat ketetapan pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali. |
(1a) | Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga diberikan atas Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak yang dikabulkan sebagian atau seluruhnya menyebabkan kelebihan pembayaran pajak dengan ketentuan sebagai berikut: | |
| a. | untuk Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak; |
| b. | untuk Surat Ketetapan Pajak Nihil dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dihitung sejak tanggal penerbitan surat ketetapan pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak; atau |
| c. | untuk Surat Tagihan Pajak dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak. |
(2) | Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga diberikan atas pembayaran lebih sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) dan/atau bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) berdasarkan Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi atau Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi sebagai akibat diterbitkan Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang mengabulkan sebagian atau seluruh permohonan Wajib Pajak. | |
(3) | Tata cara penghitungan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dan pemberian imbalan bunga diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. |
Penjelasan Pasal 27A
Ayat (1)
Imbalan bunga diberikan berkenaan dengan Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar yang telah dibayar menyebabkan kelebihan pembayaran pajak.
Ayat (1a)
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan pembetulan, pengurangan, atau pembatalan atas surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak yang keputusannya mengabulkan sebagian atau seluruhnya, selama jumlah pajak yang masih harus dibayar sebagaimana dimaksud dalam surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak telah dibayar menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, kelebihan pembayaran dimaksud dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
Ayat (2)
Imbalan bunga juga diberikan terhadap pembayaran lebih Surat Tagihan Pajak yang telah diterbitkan berdasarkan Pasal 14 ayat (4) dan Pasal 19 ayat (1) sehubungan dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, yang memperoleh pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa denda atau bunga.
Pengurangan atau penghapusan yang dimaksud merupakan akibat dari adanya Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tersebut, yang mengabulkan sebagian atau seluruh permohonan Wajib Pajak.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
BAB VI
PEMBUKUAN DAN PEMERIKSAAN
PEMBUKUAN DAN PEMERIKSAAN
Pasal 28
(1) | Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan. |
(2) | Wajib Pajak yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi wajib melakukan pencatatan, adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas. |
(3) | Pembukuan atau pencatatan tersebut harus diselenggarakan dengan memperhatikan iktikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya. |
(4) | Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan. |
(5) | Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel kas. |
(6) | Perubahan terhadap metode pembukuan dan/atau tahun buku harus mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak. |
(7) | Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang. |
(8) | Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah dapat diselenggarakan oleh Wajib Pajak setelah mendapat izin Menteri Keuangan. |
(9) | Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas data yang dikumpulkan secara teratur tentang peredaran atau penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang, termasuk penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang bersifat final. |
(10) | Dihapus. |
(11) | Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi on-line wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu di tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan Wajib Pajak badan. |
(12) | Bentuk dan tata cara pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. |
Penjelasan Pasal 28
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Cukup Jelas.
Ayat (5)
Prinsip taat asas adalah prinsip yang sama digunakan dalam metode pembukuan dengan tahun-tahun sebelumnya untuk mencegah penggeseran laba atau rugi. Prinsip taat asas dalam metode pembukuan misalnya dalam penerapan:
a. | stelsel pengakuan penghasilan; |
b. | tahun buku; |
c. | metode penilaian persediaan; atau |
d. | metode penyusutan dan amortisasi. |
Stelsel akrual adalah suatu metode penghitungan penghasilan dan biaya dalam arti penghasilan diakui pada waktu diperoleh dan biaya diakui pada waktu terutang. Jadi, tidak tergantung kapan penghasilan itu diterima dan kapan biaya itu dibayar secara tunai.
Termasuk dalam pengertian stelsel akrual adalah pengakuan penghasilan berdasarkan metode persentase tingkat penyelesaian pekerjaan yang umumnya dipakai dalam bidang konstruksi dan metode lain yang dipakai dalam bidang usaha tertentu seperti build operate and transfer (BOT) dan real estat.
Stelsel kas adalah suatu metode yang penghitungannya didasarkan atas penghasilan yang diterima dan biaya yang dibayar secara tunai.
Menurut stelsel kas, penghasilan baru dianggap sebagai penghasilan apabila benar-benar telah diterima secara tunai dalam suatu periode tertentu serta biaya baru dianggap sebagai biaya apabila benar-benar telah dibayar secara tunai dalam suatu periode tertentu.
Stelsel kas biasanya digunakan oleh perusahaan kecil orang pribadi atau perusahaan jasa, misalnya transportasi, hiburan, dan restoran yang tenggang waktu antara penyerahan jasa dan penerimaan pembayarannya tidak berlangsung lama. Dalam stetsel kas murni, penghasilan dari penyerahan barang atau jasa ditetapkan pada saat pembayaran dari pelanggan diterima dan biaya-biaya ditetapkan pada saat barang, jasa, dan biaya operasi lain dibayar.
Dengan cara ini, pemakaian stelsel kas dapat mengakibatkan penghitungan yang mengaburkan terhadap penghasilan, yaitu besarnya penghasilan dari tahun ke tahun dapat disesuaikan dengan mengatur penerimaan kas dan pengeluaran kas. Oleh karena itu, untuk penghitungan Pajak Penghasilan dalam memakai stelsel kas harus memperhatikan hal-hal antara lain sebagai berikut:
1) | Penghitungan jumlah penjualan dalam suatu periode harus meliputi seluruh penjualan, baik yang tunai maupun yang bukan. Dalam menghitung harga pokok penjualan harus diperhitungkan seluruh pembeiian dan persediaan. |
2) | Dalam memperoleh harta yang dapat disusutkan dan hak- hak yang dapat diamortisasi, biaya-biaya yang dikurangkan dari penghasilan hanya dapat dilakukan melalui penyusutan dan amortisasi. |
3) | Pemakaian stelsel kas harus dilakukan secara taat asas (konsisten). |
Dengan demikian penggunaan stelsel kas untuk tujuan perpajakan dapat juga dinamakan stelsel campuran.
Ayat (6)Pada dasarnya metode pembukuan yang dianut harus taat asas, yaitu harus sama dengan tahun-tahun sebelumnya, misalnya dalam hal penggunaan metode pengakuan penghasilan dan biaya (metode kas atau akrual), metode penyusutan aktiva tetap, dan metode penilaian persediaan. Namun, perubahan metode pembukuan masih dimungkinkan dengan syarat telah mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak. Perubahan metode pembukuan harus diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak sebelum dimulainya tahun buku yang bersangkutan dengan menyampaikan alasan yang logis dan dapat diterima serta akibat yang mungkin timbul dari perubahan tersebut.
Perubahan metode pembukuan akan mengakibatkan perubahan dalam prinsip taat asas yang dapat meliputi perubahan metode dari kas ke akrual atau sebaliknya atau perubahan penggunaan metode pengakuan penghasilan atau pengakuan biaya itu sendiri, misalnya dalam metode pengakuan biaya yang berkenaan dengan penyusutan aktiva tetap dengan menggunakan metode penyusutan tertentu. Contoh:
Wajib Pajak da!am tahun 2008 menggunakan metode penyusutan "garis lurus atau straight line method. Jika da!am tahun 2009 Wajib Pajak bermaksud mengubah metode penyusutan aktiva dengan menggunakan metode penyusutan saldo menurun atau declining balance method, Wajib Pajak harus minta persetujuan terlebih dahulu kepada Direktur jenderal Pajak yang diajukan sebelum dimulainya tahun buku 2009 dengan menyebutkan alasan dilakukannya perubahan metode penyusutan dan akibat dari perubahan tersebut.
Selain itu, perubahan periode tahun buku Juga berakibat berubahnya jumlah penghasilan atau kerugian Wajib Pajak. Oleh karena itu, perubahan tersebut juga harus mendapat persetujuan Direktur Jenderal Pajak.
Tahun Pajak adalah sama dengan tahun kalender kecuali Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender. Apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender, penyebutan Tahun Pajak yang bersangkutan menggunakan tahun yang di dalamnya termasuk 6 (enam) bulan pertama atau lebih.
Contoh:
a. | Tahun buku 1 Juli 2008 sampai dengan 30 Juni 2009 adalah Tahun Pajak 2008. |
b. | Tahun buku 1 Oktober 2008 sampai dengan 30 September 2009 adalah Tahun Pajak 2009. |
Ayat (7)
Pengertian pembukuan teiah diatur dalam Pasai 1 angka 29. Pengaturan dalam ayat ini dimaksudkan agar berdasarkan pembukuan tersebut dapat dihitung besarnya pajak yang terutang. Selain dapat dihitung besarnya Pajak Penghasilan, pajak lainnya juga harus dapat dihitung dari pembukuan tersebut. Agar Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dapat dihitung dengan benar, pembukuan harus mencatat juga jumlah harga perolehan atau nilai impor, jumlah harga jual atau nilai ekspor, jumlah harga jual dari barang yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, jumlah pembayaran atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dan yang tidak dapat dikreditkan.
Dengan demikian, pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia, misalnya berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan, kecuali peraturan perundang-undang perpajakan menentukan lain.
Dengan demikian, pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia, misalnya berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan, kecuali peraturan perundang-undang perpajakan menentukan lain.
Ayat (8)
Cukup Jelas.
Ayat (9)
Pencatatan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan pekerjaan bebas meliputi peredaran atau penerimaan bruto dan penerimaan penghasilan lainnya, sedangkan bagi mereka yang semata-mata menerima penghasilan dari luar usaha dan pekerjaan bebas, pencatatannya hanya mengenai penghasitan bruto, pengurang, dan penghasilan neto yang merupakan objek Pajak Penghasilan. Di samping itu, pencatatan meliputi pula penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang bersifat final.
Ayat (10)
Dihapus.
Ayat (11)
Buku, catatan, dan dokumen termasuk yang diselenggarakan secara program aplikasi on-line dan hasil pengolahan data elektronik yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan harus disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia. Hal itu diimaksudkan agar apabila Direktur Jenderal Pajak akan mengeluarkan surat ketetapan pajak, bahan pembukuan atau pencatatan yang diperlukan masih tetap ada dan dapat segera disediakan. Kurun waktu 10 (sepuluh) tahun penyimpanan buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan adalah sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai batas daluwarsa penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. Penyimpanan buku, Catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk yang diselenggarakan secara program aplikasi on-line harus dilakukan dengan memperhatikan faktor keamanan, kelayakan, dan kewajaran penyimpanan.
Ayat (12)
Cukup Jelas.
Pasal 29
(1) | Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. | |
(2) | Untuk keperluan pemeriksaan, petugas pemeriksa harus memiliki tanda pengenal pemeriksa dan dilengkapi dengan Surat Perintah Pemeriksaan serta memperlihatkannya kepada Wajib Pajak yang diperiksa. | |
(3) | Wajib Pajak yang diperiksa wajib: | |
| a. | memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak; |
| b. | memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan; dan/atau |
| c. | memberikan keterangan lain yang diperlukan. |
(3a) | Buku, catatan, dan dokumen, serta data, informasi, dan keterangan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dipenuhi oleh Wajib Pajak paling lama 1 (satu) bulan sejak permintaan disampaikan. | |
(3b) | Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sehingga tidak dapat dihitung besarnya penghasilan kena pajak, penghasilan kena pajak tersebut dapat dihitung secara jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. | |
(4) | Apabila dalam mengungkapkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen serta keterangan yang diminta, Wajib Pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk merahasiakannya, maka kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan oleh permintaan untuk keperluan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
Penjelasan Pasal 29
Ayat (1)
Direktur Jenderal Pajak dalam rangka pengawasan kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan berwenang melakukan pemeriksaan untuk:
a. | menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak; dan/atau |
b. | tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. |
Pemeriksaan dapat dilakukan di kantor (Pemeriksaan Kantor) atau di tempat Wajib Pajak (Pemeriksaan Lapangan) yang ruang lingkup pemeriksaannya dapat meliputi satu jenis pajak, beberapa jenis pajak, atau seluruh jenis pajak, baik untuk tahun-tahun yang lalu maupun untuk tahun berjalan.
Pemeriksaan dapat dilakukan terhadap Wajib Pajak, termasuk terhadap instansi pemerintah dan badan lain sebagai pemungut pajak atau pemotong pajak.
Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka menguji pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dilakukan dengan menelusuri kebenaran Surat Pemberitahuan, pembukuan atau pencatatan, dan pemenuhan kewajiban perpajakan lainnya dibandingkan dengan keadaan atau kegiatan usaha sebenarnya dari Wajib Pajak.
Selain itu, pemeriksaan dapat juga dilakukan untuk tujuan lain, di antaranya:
1. | pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan; |
2. | penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak; |
3. | pengukuhan atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak; |
4. | Wajib Pajak mengajukan keberatan; |
5. | pengumpulan bahan guna penyusunan Norma Penghitungan Penghasilan Neto; |
6. | pencocokan data dan/atau alat keterangan; |
7. | penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil; |
8. | penentuan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai; |
9. | pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak; |
10. | penentuan saat mulai berproduksi sehubungan dengan fasilitas perpajakan; dan/atau |
11. | pemenuhan permintaan informasi dari negara mitra Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda. |
Ayat (2)
Pemeriksaan dilaksanakan oleh petugas pemeriksa yang jelas identitasnya. Oleh karena itu, petugas pemeriksa harus memiliki tanda pengenal pemeriksa dan dilengkapi dengan Surat Perintah Pemeriksaan, serta memperlihatkannya kepada Wajib Pajak yang diperiksa. Petugas pemeriksa harus menjelaskan tujuan dilakukannya pemeriksaan kepada Wajib Pajak.
Petugas pemeriksa harus telah mendapat pendidikan teknis yang cukup dan memiliki keterampilan sebagai pemeriksa pajak. Dalam menjalankan tugasnya, petugas pemeriksa harus bekerja dengan jujur, bertanggung jawab, penuh pengertian, sopan, dan objektif serta wajib menghindarkan diri dari perbuatan tercela.
Pendapat dan simpulan petugas pemeriksa harus didasarkan pada bukti yang kuat dan berkaitan serta berlandaskan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Petugas pemeriksa harus melakukan pembinaan kepada Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ayat (3)
Kewajiban yang harus dipenuhi oleh Wajib Pajak yang diperiksa sebagaimana dimaksud pada ayat ini disesuaikan dengan tujuan dilakukannya pemeriksaan baik dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan maupun untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Apabila Wajib Pajak menyelenggarakan pencatatan atau pembukuan dengan menggunakan proses pengolahan data secara elektronik electronic data processing/EDP), baik yang diselenggarakan sendiri maupun yang diselenggarakan melalui pihak lain, Wajib Pajak harus memberikan akses kepada petugas pemeriksa untuk mengakses dan/atau mengunduh data dari catatan, dokumen, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak.
Berdasarkan ayat ini Wajib Pajak yang diperiksa juga memiliki kewajiban memberikan kesempatan kepada pemeriksa untuk memasuki tempat atau ruangan yang merupakan tempat penyimpanan dokumen, uang, dan/atau barang yang dapat memberi petunjuk tentang keadaan usaha Wajib Pajak dan melakukan peminjaman dan/atau pemeriksaan di tempat-tempat tersebut.
Dalam hal petugas pemeriksa membutuhkan keterangan lain selain buku, catatan, dan dokumen lain, Wajib Pajak harus memberikan keterangan lain yang dapat berupa keterangan tertulis dan/atau keterangan lisan.
Keterangan tertulis misalnya:
a. | surat pernyataan tidak diaudit oleh Kantor Akuntan Publik; |
b. | keterangan bahwa fotokopi dokumen yang dipinjamkan sesuai dengan aslinya; |
c. | surat pernyataan tentang kepemilikan harta; atau |
d. | surat pernyataan tentang perkiraan biaya hidup. |
Keterangan lisan misalnya:
a. | wawancara tentang proses pembukuan Wajib Pajak; |
b. | wawancara tentang proses produksi Wajib Pajak; atau |
c. | wawancara dengan manajemen tentang transaksi-transaksi yang bersifat khusus. |
Ayat (3a)
Cukup Jelas.
Ayat (3b)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Untuk mencegah adanya dalih bahwa Wajib Pajak yang sedang diperiksa terikat pada kerahasiaan sehingga pembukuan, catatan, dokumen serta keterangan-keterangan iain yang diperlukan tidak dapat diberikan oleh Wajib Pajak maka ayat ini menegaskan bahwa kewajiban merahasiakan itu ditiadakan.
Pasal 29A
Terhadap Wajib Pajak badan yang pernyataan pendaftaran emisi sahamnya telah dinyatakan efektif oleh badan pengawas pasar modal dan menyampaikan Surat Pemberitahuan dengan dilampiri Laporan Keuangan yang telah diaudit oleh Akuntan Publik dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian yang:
a. | Surat Pemberitahuan Tahunan Wajib Pajak menyatakan lebih bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B; atau |
b. | terpilih untuk diperiksa berdasarkan analisis risiko |
Penjelasan Pasal 29A
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan fasilitas kepada Wajib Pajak yang mendaftarkan sahamnya di bursa efek, yaitu dalam hal Wajib Pajak dilakukan pemeriksaan, pemeriksaannya dapat melalui Pemeriksaan Kantor. Dengan Pemeriksaan Kantor, proses pemeriksaan menjadi lebih sederhana dan cepat penyelesaiannya sehingga Wajib Pajak semakin cepat mendapatkan kepastian hukum, dibandingkan melalui Pemeriksaan Lapangan.
Mengingat pemeriksaan dapat dilakukan melalui Pemeriksaan Kantor dan jangka waktu pemeriksaannya cukup singkat, Direktur Jenderal Pajak melalui Wajib Pajak dapat meminta kertas kerja pemeriksaan yang dibuat oleh Akuntan Publik.
Pasal 30
(1) | Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan penyegelan tempat atau ruangan tertentu serta barang bergerak dan/atau tidak bergerak apabila Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) huruf b. |
(2) | Tata cara penyegelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. |
Penjelasan Pasal 30
Ayat (1)
Dalam pemeriksaan dapat ditemukan adanya Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan yang diatur dalam Pasal 29 ayat (3) huruf b, yakni tidak memberikan kesempatan kepada pemeriksa untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan. Keadaan tersebut dapat disebabkan oleh berbagai hal, misalnya, Wajib Pajak tidak berada di tempat atau sengaja tidak memberikan kesempatan kepada pemeriksa untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan tidak memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan.
Wajib Pajak yang pada saat dilakukan pemeriksaan tidak memberi kesempatan kepada pemeriksa untuk memasuki tempat, ruang, dan barang bergerak dan/atau tidak bergerak, serta mengakses data yang dikelola secara elektronik atau tidak memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan dianggap menghalangi pelaksanaan pemeriksaan. Dalam hal demikian, untuk memperoleh buku, catatan, dokumen termasuk data yang dikelola secara elektronik dan benda-benda lain yang dapat memberi petunjuk tentang kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak yang diperiksa dipandang perlu memberi kewenangan kepada Direktur Jenderal Pajak yang dilaksanakan oleh pemeriksa untuk melakukan penyegelan terhadap tempat, ruang, dan barang bergerak dan/atau tidak bergerak.
Penyegelan merupakan upaya terakhir pemeriksa untuk mernperoleh atau mengamankan buku, catatan, dokumen termasuk data yang dikelola secara elektronik, dan benda-benda iain yang dapat memberi petunjuk tentang kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak yang diperiksa agar tidak dipindahkan, dihilangkan, dimusnahkan, diubah, dirusak, ditukar, atau dipalsukan.
Penyegelan data elektronik dilakukan sepanjang tidak menghentikan kelancaran kegiatan operasional perusahaan, khususnya yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Pasal 31
(1) | Tata cara pemeriksaan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. |
(2) | Tata cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di antaranya mengatur tentang pemeriksaan ulang, jangka waktu pemeriksaan, kewajiban menyampaikan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada Wajib Pajak, dan hak Wajib Pajak untuk hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang ditentukan. |
(3) | Apabila dalam pelaksanaan pemeriksaan Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) sehingga penghitungan penghasilan kena pajak dilakukan secara jabatan, Direktur Jenderal Pajak wajib menyampaikan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada Wajib Pajak dan memberikan hak kepada Wajib Pajak untuk hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang ditentukan. |
Penjelasan Pasal 31
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Untuk lebih memberikan keseimbangan hak kepada Wajib Pajak dalam menanggapi temuan hasil pemeriksaan, dalam tata cara pemeriksaan tersebut, antara lain, mengatur kewajiban menyampaikan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada Wajib Pajak dan memberikan hak Wajib Pajak untuk hadir dalam pembahasan akhir hasil Pemeriksaan dalam batas waktu yang ditentukan. Dalam hal Wajib Pajak tidak hadir dalam batas waktu yang ditentukan, hasil pemeriksaan ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
BAB VII
KETENTUAN KHUSUS
KETENTUAN KHUSUS
Pasal 32
(1) | Dalam menjalankan hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, Wajib Pajak diwakili dalam hal: | |
| a. | badan oleh pengurus; |
| b. | badan yang dinyatakan pailit oleh kurator; |
| c. | badan dalam pembubaran oleh orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan; |
| d. | badan dalam likuidasi oleh likuidator; |
| e. | suatu warisan yang belum terbagi oleh salah seorang ahli warisnya, pelaksana wasiatnya atau yang mengurus harta peninggalannya; atau |
| f. | anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan oleh wali atau pengampunya. |
(2) | Wakil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggungjawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang, kecuali apabila dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terutang tersebut. | |
(3) | Orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. | |
(3a) | Persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. | |
(4) | Termasuk dalam pengertian pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang ikut menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam menjalankan perusahaan. |
Penjelasan Pasal 32
Ayat (1)
Dalam Undang-Undang ini ditentukan siapa yang menjadi wakil untuk melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak terhadap badan, badan yang dinyatakan pailit, badan dalam pembubaran, badan dalam likuidasi, warisan yang belum dibagi, dan anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan. Bagi Wajib Pajak tersebut perlu ditentukan siapa yang menjadi wakil atau kuasanya karena mereka tidak dapat atau tidak mungkin melakukan sendiri tindakan hukum tersebut.
Ayat (2)
Ayat ini menegaskan bahwa wakil Wajib Pajak yang diatur dalam Undang-Undang ini bertanggung jawab secara pribadi atau secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang. Pengecualian dapat dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak apabila wakil Wajib Pajak dapat membuktikan dan meyakinkan bahwa dalam kedudukannya, menurut kewajaran dan kepatutan, tidak mungkin dimintai pertanggungjawaban.
Ayat (3)
Ayat ini memberikan kelonggaran dan kesempatan bagi Wajib Pajak untuk meminta bantuan pihak lain yang memahami masalah perpajakan sebagai kuasanya, untuk dan atas namanya, membantu melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak.
Bantuan tersebut meliputi pelaksanaan kewajiban formal dan material serta pemenuhan hak Wajib Pajak yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
Yang dimaksud dengan "kuasa" adalah orang yang menerima kuasa khusus dari Wajib Pajak untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan tertentu dari Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan.
Yang dimaksud dengan "kuasa" adalah orang yang menerima kuasa khusus dari Wajib Pajak untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan tertentu dari Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan.
Ayat (3a)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang dalam menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam rangka menjalankan kegiatan perusahaan, misalnya berwenang menandatangani kontrak dengan pihak ketiga, menandatangani cek, dan sebagainya walaupun orang tersebut tidak tercantum namanya dalam susunan pengurus yang tertera dalam akte pendirian maupun akte perubahan, termasuk dalam pengertian pengurus. Ketentuan dalam ayat ini berlaku pula bagi komisaris dan pernegang saham mayoritas atau pengendali.
Pasal 33
Dihapus.
Penjelasan Pasal 33
Dihapus.
Pasal 34
(1) | Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. | |
(2) | Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. | |
(2a) | Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah: | |
| a. | pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang pengadilan; atau |
| b. | pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan Menteri Keuangan untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan negara. |
(3) | Untuk kepentingan negara, Menteri Keuangan berwenang memberi izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) supaya memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk. | |
(4) | Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan Hakim sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata, Menteri Keuangan dapat memberi izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya. | |
(5) | Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta. |
Penjelasan Pasal 34
Ayat (1)
Setiap pejabat, baik petugas pajak maupun mereka yang melakukan tugas di bidang perpajakan dilarang mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak yang menyangkut masalah perpajakan, antara lain:
a. | Surat Pemberitahuan, laporan keuangan, dan lain-lain yang dilaporkan oleh Wajib Pajak; |
b. | data yang diperoleh dalam rangka petaksanaan pemeriksaan; |
c. | dokumen dan/atau data yang diperoleh dari pihak ketiga yang bersifat rahasia; |
d. | dokumen dan/atau rahasia Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkenaan |
Ayat (2)
Para ahli, seperti ahli bahasa, akuntan, dan pengacara yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu pelaksanaan undang-undang perpajakan adalah sama dengan petugas pajak yang dilarang pula untuk mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Ayat (2a)
Keterangan yang dapat diberitahukan adalah identitas Wajib Pajak dan informasi yang bersifat umum tentang perpajakan identitas Wajib Pajak meliputi:
1. | nama Wajib Pajak; |
2. | Nomor Pokok Wajib Pajak; |
3. | alamat Wajib Pajak; |
4. | alamat kegiatan usaha; |
5. | merek usaha; dan/atau |
6. | kegiatan usaha Wajib Pajak. |
Informasi yang bersifat umum tentang perpajakan meliputi:
a. | penerimaan pajak secara nasional; |
b. | penerimaan pajak per Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dan/atau per Kantor Pelayanan Pajak; |
c. | penerimaan pajak perjenis pajak; |
d. | penerimaan pajak per klasifikasi lapangan usaha; |
e. | jumlah Wajib Pajak dan/atau Pengusaha Kena Pajak terdaftar; |
f. | register permohonan Wajib Pajak; |
g. | tunggakan pajak secara nasional; dan/atau |
h. | tunggakan pajak per Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dan/atau per Kantor Pelayanan Pajak. |
Ayat (3)
Untuk kepentingan negara, misalnya dalam rangka penyidikan, penuntutan, atau dalam rangka mengadakan kerja sama dengan instansi pemerintah lain, keterangan atau bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak dapat diberikan atau diperlihatkan kepada pihak tertentu yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
Dalam surat izin yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan harus dicantumkan nama Wajib Pajak, nama pihak yang ditunjuk, dan nama pejabat, ahli, atau tenaga ahli yang diizinkan untuk memberikan keterangan atau memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak. Pemberian izin tersebut dilakukan secara terbatas dalam hal-hal yang dipandang perlu oleh Menteri Keuangan.
Ayat (4)
Untuk melaksanakan pemeriksaan pada sidang pengadilan dalam perkara pidana atau perdata yang berhubungan dengan masalah perpajakan, demi kepentingan peradilan, Menteri Keuangan memberikan izin pembebasan atas kewajiban kerahasiaan kepada pejabat pajak dan para ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) atas permintaan tertulis hakim ketua sidang.
Ayat (5)
Ayat ini merupakan pembatasan dan penegasan bahwa keterangan perpajakan yang diminta hanya mengenai perkara pidana atau perdata tentang perbuatan atau peristiwa yang menyangkut bidang perpajakan dan hanya terbatas pada tersangka yang bersangkutan.
Pasal 35
(1) | Apabila dalam menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperlukan keterangan atau bukti dari bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, dan/atau pihak ketiga lainnya, yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang dilakukan pemeriksaan pajak, penagihan pajak, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, atas permintaan tertulis dari Direktur Jenderal Pajak, pihak-pihak tersebut wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta. |
(2) | Dalam hal pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terikat oleh kewajiban merahasiakan, untuk keperluan pemeriksaan, penagihan pajak, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, kewajiban merahasiakan tersebut ditiadakan, kecuali untuk bank, kewajiban merahasiakan ditiadakan atas permintaan tertulis dari Menteri Keuangan. |
(3) | Tata cara permintaan keterangan atau bukti dari pihak-pihak yang terikat oleh kewajiban merahasiakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. |
Penjelasan Pasal 35
Ayat (1)
Untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, atas permintaan tertulis Direktur Jenderal Pajak, pihak ketiga yaitu bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, dan pihak ketiga lainnya yang mempunyai hubungan dengan kegiatan usaha Wajib Pajak yang dilakukan pemeriksaan pajak atau penagihan pajak atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan harus memberikan keterangan atau bukti-bukti yang diminta.
Yang dimaksud dengan "konsultan pajak" adalah setiap orang yang dalam lingkungan pekerjaannya secara bebas memberikan jasa konsultasi kepada Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ayat (2)
Untuk kepentingan perpajakan, pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan nasabah penyimpan tertentu kepada pejabat pajak.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Pasal 35A
(1) | Setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, wajib memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2). |
(2) | Dalam hal data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi, Direktur Jenderal Pajak berwenang menghimpun data dan informasi untuk kepentingan penerimaan negara yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2). |
Penjelasan Pasal 35A
Ayat (1)
Dalam rangka pengawasan kepatuhan pelaksanaan kewajiban perpajakan sebagai konsekuensi penerapan sistem self assessment, data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan yang bersumber dari instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain sangat diperlukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Data dan informasi dimaksud adalah data dan informasi orang pribadi atau badan yang dapat menggambarkan kegiatan atau usaha, peredaran usaha, penghasilan dan/atau kekayaan yang bersangkutan, termasuk informasi mengenai nasabah debitur, data transaksi keuangan dan lalu lintas devisa, kartu kredit, serta laporan keuangan dan/atau laporan kegiatan usaha yang disampaikan kepada instansi lain di luar Direktorat Jenderal Pajak.
Dalam rangka pelaksanaan ketentuan ini, sumber, jenis, dan tata cara penyampaian data dan informasi kepada Direktorat Jenderal Pajak diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ayat (2)
Apabila data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan yang diberikan oleh instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain belum mencukupi, untuk kepentingan penerimaan negara, Direktur Jenderal Pajak dapat menghimpun data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan sehubungan dengan terjadinya suatu peristiwa yang diperkirakan berkaitan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dengan memperhatikan ketentuan tentang kerahasiaan atas data dan informasi dimaksud.
Pasal 36
(1) | Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat: | ||
| a. | mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya; | |
| b. | mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar; | |
| c. | mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 yang tidak benar; atau | |
| d. | membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa: | |
| | 1. | penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan; atau |
| | 2. | pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak. |
(1a) | Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c hanya dapat diajukan oleh Wajib Pajak paling banyak 2 (dua) kali. | ||
(1b) | Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d hanya dapat diajukan oleh Wajib Pajak 1 (satu) kali. | ||
(1c) | Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima, harus memberi keputusan atas permohonan yang diajukan. | ||
(1d) | Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1c) telah lewat tetapi Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap dikabulkan. | ||
(1e) | Apabila diminta oleh Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar untuk menolak atau mengabulkan sebagian permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1c). | ||
(2) | Ketentuan pelaksanaan ayat (1), ayat (1a), ayat (1b), ayat (1c), ayat (1d), dan ayat (1e) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. |
Penjelasan Pasal 36
Ayat (1)
Dalam praktik dapat ditemukan sanksi administrasi yang dikenakan kepada Wajib Pajak tidak tepat karena ketidaktelitian petugas pajak yang dapat membebani Wajib Pajak yang tiidak bersalah atau tidak memahami peraturan perpajakan. Dalam hal demikian, sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang telah ditetapkan dapat dihapuskan atau dikurangkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Selain itu, Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan Wajib Pajak dan berlandaskan unsur keadilan dapat mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar, misalnya Wajib Pajak yang ditolak pengajuan keberatannya karena tidak memenuhi persyaratan formal (memasukkan surat keberatan tidak pada waktunya) meskipun persyaratan material terpenuhi.
Demikian juga, atas Surat Tagihain Pajak yang tidak benar dapat dilakukan pengurangan atau pembatalan oleh Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan Wajib Pajak.
Dalam rangka memberikan keadilan dan melindungi hak Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak atas kewenangannya atau atas permohonan Wajib Pajak dapat mernbatalkan hasil pemeriksaan pajak yang dilaksanakan tanpa penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan atau tanpa dilakukan pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak. Namun, dalam hal Wajib Pajak tidak hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan sesuai dengan batas waktu yang ditentukan, permohonan Wajib Pajak tidak dapat dipertimbangkan.
Ayat (1a)
Cukup Jelas.
Ayat (1b)
Cukup Jelas.
Ayat (1c)
Cukup Jelas.
Ayat (1d)
Cukup Jelas.
Ayat (1e)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Pasal 36A
(1) | Pegawai pajak yang karena kelalaiannya atau dengan sengaja menghitung atau menetapkan pajak tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Pegawai pajak yang dalam melakukan tugasnya dengan sengaja bertindak di luar kewenangannya yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dapat diadukan ke unit internal Departemen Keuangan yang berwenang melakukan pemeriksaan dan investigasi dan apabila terbukti melakukannya dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(3) | Pegawai pajak yang dalam melakukan tugasnya terbukti melakukan pemerasan dan pengancaman kepada Wajib Pajak untuk menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 368 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. |
(4) | Pegawai pajak yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan perubahannya. |
(5) | Pegawai pajak tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana, apabila dalam melaksanakan tugasnya didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. |
Penjelasan Pasal 36A
Ayat (1)
Dalam rangka mengamankan penerimaan negara dan meningkatkan profesionalisme pegawai pajak dalam melaksanakan ketentuan undang-undang perpajakan, terhadap pegawai pajak yang dengan sengaja menghitung atau menetapkan pajak yang tidak sesuai dengan undang-undang sehingga mengakibatkan kerugian pada pendapatan Negara dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)
Ayat ini mengatur pelanggaran yang dilakukan pegawai pajak, misalnya apabila pegawai pajak melakukan pelanggaran di bidang kepegawaian, pegawai pajak dapat diadukan karena telah melanggar peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian. Apabila pegawai pajak dianggap melakukan tindak pidana, pegawai pajak dapat diadukan karena telah melakukan tindak pidana. Demikian juga, apabila pegawai pajak melakukan tindak pidana korupsi, pegawai pajak dapat diadukan karena melakukan tindak pidana korupsi.
Dalam keadaan demikian, Wajib Pajak dapat mengadukan pelanggaran yang dilakukan pegawai pajak tersebut kepada unit internal Departemen Keuangan.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Cukup Jelas.
Ayat (5)
Pegawai pajak dalam melaksanakan tugasnya dianggap berdasarkan iktikad baik apabila pegawai pajak tersebut dalam melaksanakan tugasnya tidak untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompok, dan/atau tindakan lain yang berindikasi korupsi, kolusi, dan/atau nepotisme.
Pasal 36B
(1) | Menteri Keuangan berkewajiban untuk membuat kode etik pegawai Direktorat Jenderal Pajak. |
(2) | Pegawai Direktorat Jenderal Pajak wajib mematuhi kode etik pegawai Direktorat Jenderal Pajak. |
(3) | Pengawasan pelaksanaan dan penampungan pengaduan pelanggaran kode etik pegawai Direktorat Jenderal Pajak dilaksanakan oleh Komite Kode Etik yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. |
Penjelasan Pasal 36B
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Pasal 36C
Menteri Keuangan membentuk komite pengawas perpajakan, yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Penjelasan Pasal 36C
Cukup Jelas.
Pasal 36D
(1) | Direktorat Jenderal Pajak dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu. |
(2) | Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. |
(3) | Tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. |
Penjelasan Pasal 36D
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Pemberian besarnya insentif dilakukan melalui pembahasan yang dilakukan oleh Pemerintah dengan alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi masalah keuangan.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Pasal 37
Perubahan besarnya imbalan bunga dan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan, diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Penjelasan Pasal 37
Sesuai dengan keadaan ekonomi keuangan, nilai uang akan dapat berubah-ubah. Karena itu undang-undang memberikan wewenang kepada Pemerintah apabila diperlukan dapat mengeluarkan Peraturan Pemerintah untuk mengubah dan menyesuaikan besarnya imbalan bunga dan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan, sesuai dengan keadaan ekonomi keuangan.
Pasal 37A
(1) | Wajib Pajak yang menyampaikan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebelum Tahun Pajak 2007, yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar dan dilakukan paling lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah berlakunya Undang-Undang ini, dapat diberikan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. |
(2) | Wajib Pajak orang pribadi yang secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak paling lama 1 (satu) tahun setelah berlakunya Undang-Undang ini diberikan penghapusan sanksi administrasi atas pajak yang tidak atau kurang dibayar untuk Tahun Pajak sebelum diperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan tidak dilakukan pemeriksaan pajak, kecuali terdapat data atau keterangan yang menyatakan bahwa Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak tidak benar atau menyatakan lebih bayar. |
Penjelasan Pasal 37A
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
BAB VIII
KETENTUAN PIDANA
KETENTUAN PIDANA
Pasal 38
Setiap orang yang karena kealpaannya:
a. | tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau |
b. | menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar |
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A, didenda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1 (satu) tahun.
Penjelasan Pasal 38
Pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak, sepanjang menyangkut tindakan administrasi perpajakan, dikenai sanksi administrasi dengan menerbitkan surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak, sedangkan yang menyangkut tindak pidana di bidang perpajakan dikenai sanksi pidana.
Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini bukan merupakan pelanggaran administrasi melainkan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan.
Dengan adanya sanksi pidana tersebut, diharapkan tumbuhnya kesadaran Wajib Pajak untuk mematuhi kewajiban perpajakan seperti yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Kealpaan yang dimaksud dalam pasal ini berarti tidak sengaja, lalai, tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan kewajibannya sehingga perbuatan tersebut dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
Pasal 39
(1) | Setiap orang yang dengan sengaja: | |
| a. | tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; |
| b. | menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak; |
| c. | tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; |
| d. | menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap; |
| e. | menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29; |
| f. | memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya; |
| g. | tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain; |
| h. | tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi on-line di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (11); atau |
| i. | tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut. |
| sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. | |
(2) | Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2 (dua) kali sanksi pidana apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan. | |
(3) | Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, atau menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak atau pengkreditan pajak, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan. |
Penjelasan Pasal 39
Ayat (1)
Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat ini yang dilakukan dengan sengaja dikenai sanksi yang berat mengingat pentingnya peranan penerimaan pajak dalam penerimaan negara.
Dalam perbuatan atau tindakan ini termasuk pula setiap orang yang dengan sengaja tidak mendaftarkan diri, menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak, atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
Ayat (2)
Untuk mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana di bidang perpajakan, bagi mereka yang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun sejak selesainya menjalani sebagian atau seluruh pidana penjara yang dijatuhkan, dikenai sanksi pidana lebih berat, yaitu ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2 (dua) kali sanksi pidana yang diatur pada ayat (1).
Ayat (3)
Penyalahgunaan atau penggunaan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, atau penyampaian Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap dalam rangka mengajukan permohonan restitusi pajak dan/atau kompensasi pajak atau pengkreditan pajak yang tidak benar sangat merugikan negara. Oleh karena itu, percobaan melakukan tindak pidana tersebut merupakan delik tersendiri.
Pasal 39A
Setiap orang yang dengan sengaja:
a. | menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya; atau |
b. | menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak |
Penjelasan Pasal 39A
Faktur pajak sebagai bukti pungutan pajak merupakan sarana administrasi yang sangat penting dalam pelaksanaan ketentuan Pajak Pertambahan Nilai. Demikian juga bukti pemotongan pajak dan bukti pemungutan pajak merupakan sarana untuk pengkreditan atau pengurangan pajak terutang sehingga setiap penyalahgunaan faktur pajak, bukti pemotongan pajak, bukti pemungutan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dapat mengakibatkan dampak negatif dalam keberhasilan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan. Oeh karena itu, penyalahgunaan tersebut berupa penerbitan dan/atau penggunaan faktur pajak, bukti pemotongan pajak, bukti pemungutan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya dikenai sanksi pidana.
Pasal 40
Tindak pidana dibidang perpajakan tidak dapat dituntut setelah lampau waktu 10 (sepuluh) tahun sejak saat terhutangnya pajak, berakhirnya Masa Pajak, berakhirnya Bagian Tahun Pajak, atau berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan.
Penjelasan Pasal 40
Tindak pidana dibidang perpajakan daluwarsa 10 (sepuluh) tahun, dari sejak saat terutangnya pajak berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak yang bersangkutan. Hal tersebut dimaksudkan guna memberikan suatu kepastian hukum bagi Wajib Pajak, Penuntut Umum dan Hakim. Jangka waktu 10 (sepuluh) tahun tersebut adalah untuk menyesuaikan dengan daluwarsa penyimpanan dokumen-dokumen perpajakan yang dijadikan dasar penghitungan jumlah pajak yang terutang, selama 10 (sepuluh) tahun.
Pasal 41
(1) | Pejabat yang karena kealpaanya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah). |
(2) | Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). |
(3) | Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar. |
Penjelasan Pasal 41
Ayat (1)
Untuk menjamin bahwa kerahasiaan mengenai perpajakan tidak akan diberitahukan kepada pihak lain dan supaya Wajib Pajak dalam memberikan data dan keterangan tidak ragu-ragu, dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Perpajakan, perlu adanya sanksi pidana bagi pejabat yang bersangkutan yang menyebabkan terjadinya pengungkapan kerahasiaan tersebut.
Pengungkapan kerahasiaan sebagaimana dimaksud pada ayat ini dilakukan karena kealpaan dalam arti lalai, tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan sehingga kewajiban untuk merahasiakan keterangan atau bukti-bukti yang ada pada Wajib Pajak yang dilindungi oleh Undang-undang Perpajakan dilanggar. Atas kealpaan tersebut, pelaku dihukum dengan hukuman yang setimpal.
Pengungkapan kerahasiaan sebagaimana dimaksud pada ayat ini dilakukan karena kealpaan dalam arti lalai, tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan sehingga kewajiban untuk merahasiakan keterangan atau bukti-bukti yang ada pada Wajib Pajak yang dilindungi oleh Undang-undang Perpajakan dilanggar. Atas kealpaan tersebut, pelaku dihukum dengan hukuman yang setimpal.
Ayat (2)
Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat ini yang dilakukan dengan sengaja dikenai sanksi yang lebih berat dibandingkan dengan perbuatan atau tindakan yang dilakukan karena kealpaan agar pejabat yang bersangkutan lebih berhati-hati untuk tidak melakukan perbuatan membocorkan rahasia Wajib Pajak.
Ayat (3)
Tuntutan pidana terhadap pelanggaran kerahasiaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sesuai dengan sifatnya adalah menyangkut kepentingan pribadi seseorang atau badan selaku Wajib Pajak.
Pasal 41A
Setiap orang yang wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 tetapi dengan sengaja tidak memberi keterangan atau bukti, atau memberi keterangan atau bukti yang tidak benar dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).
Penjelasan Pasal 41A
Agar pihak ketiga memenuhi permintaan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 35 maka perlu adanya sanksi bagi pihak ketiga yang melakukan perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini.
Pasal 41B
Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).
Penjelasan Pasal 41B
Seseorang yang melakukan perbuatan menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, misalnya menghalangi penyidik melakukan penggeledahan dan/atau menyembunyikan bahan bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini dikenai sanksi pidana.
Pasal 41C
(1) | Setiap orang yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). |
(2) | Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan tidak terpenuhinya kewajiban pejabat dan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). |
(3) | Setiap orang yang dengan sengaja tidak memberikan data dan informasi yang diminta oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). |
(4) | Setiap orang yang dengan sengaja menyalahgunakan data dan informasi perpajakan sehingga menimbulkan kerugian kepada negara dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). |
Penjelasan Pasal 41C
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Cukup Jelas,
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Cukup Jelas.
Pasal 42
Dihapus.
Penjelasan Pasal 42
Dihapus.
Pasal 43
(1) | Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 39A, berlaku juga bagi wakil, kuasa, pegawai dari Wajib Pajak, atau pihak lain yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan. |
(2) | Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A dan Pasal 41B berlaku juga bagi yang menyuruh melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan. |
Penjelasan Pasal 43
Ayat (1)
Yang dipidana karena melakukan perbuatan tindak pidana di bidang perpajakan tidak terbatas pada Wajib Pajak, wakil Wajib Pajak, kuasa Wajib Pajak, pegawai Wajib Pajak, Akuntan Publik, Konsultan Pajak, atau pihak lain, tetapi juga terhadap mereka yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Pasal 43A
(1) | Direktur Jenderal Pajak berdasarkan informasi, data, laporan, dan pengaduan berwenang melakukan pemeriksaan bukti permulaan sebelum dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. |
(2) | Dalam hal terdapat indikasi tindak pidana di bidang perpajakan yang menyangkut petugas Direktorat Jenderal Pajak, Menteri Keuangan dapat menugasi unit pemeriksa internal di lingkungan Departemen Keuangan untuk melakukan pemeriksaan bukti permulaan. |
(3) | Apabila dari bukti permulaan ditemukan unsur tindak pidana korupsi, pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang tersangkut wajib diproses menurut ketentuan hukum Tindak Pidana Korupsi. |
(4) | Tata cara pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. |
Penjelasan Pasal 43A
Ayat (1)
Informasi, data, laporan, dan pengaduan yang diterima oleh Direktorat Jenderal Pajak akan dikembangkan dan dianalisis melalui kegiatan intelijen atau pengamatan yang hasilnya dapat ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan, Pemeriksaan Bukti Permulaan, atau tidak ditindaklanjuti.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Cukup Jelas.
BAB IX
PENYIDIKAN
PENYIDIKAN
Pasal 44
(1) | Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik tindak pidana di bidang perpajakan. | |
(2) | Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: | |
| a. | menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas; |
| b. | meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan; |
| c. | meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan; |
| d. | memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan; |
| e. | melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut; |
| f. | meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan; |
| g. | menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa; |
| h. | memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan; |
| i. | memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; |
| j. | menghentikan penyidikan; dan/atau |
| k. | melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(3) | Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana. | |
(4) | Dalam rangka pelaksanaan kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyidik dapat meminta bantuan aparat penegak hukum lain. |
Ayat (1)
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diangkat sebagai penyidik tindak pidana di bidang perpajakan oleh pejabat yang berwenang adalah penyidik tindak pidana di bidang perpajakan. Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dilaksanakan menurut ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.
Ayat (2)
Pada ayat ini diatur wewenang Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak sebagai penyidik tindak pidana di bidang perpajakan, termasuk melakukan penyitaan. Penyitaan tersebut dapat dilakukan, baik terhadap barang bergerak maupun tidak bergerak, termasuk rekening bank, piutang, dan surat berharga milik Wajib Pajak, Penanggung Pajak, dan/atau pihak lain yang telah ditetapkan sebagai tersangka.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Cukup Jelas.
Pasal 44A
Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) menghentikan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) huruf j dalam hal tidak terdapat cukup bukti, atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan, atau penyidikan dihentikan karena peristiwanya telah kadaluwarsa, atau tersangka meninggal dunia.
Penjelasan Pasal 44A
Dalam hal penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dihentikan kecuali karena peristiwanya telah daluwarsa, maka surat ketetapan pajak tetap dapat diterbitkan.
Pasal 44B
(1) | Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan paling lama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan. |
(2) | Penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan setelah Wajib Pajak melunasi utang pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan dan ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar 4 (empat) kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, atau yang tidak seharusnya dikembalikan. |
Penjelasan Pasal 44B
Ayat (1)
Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana perpajakan sepanjang perkara pidana tersebut belum dilimpahkan ke pengadilan.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 45
Terhadap pajak-pajak yang terhutang pada suatu saat, untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak yang berakhir sebelum saat berlakunya undang-undang ini, tetap berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang lama, sampai dengan tanggal 31 Desember 1988.
Penjelasan Pasal 45
Meskipun Undang-undang Perpajakan yang lama telah dicabut dengan diundangkannya Undang-undang ini, untuk menampung penyelesaian penetapan pajak-pajak terutang pada masa atau tahun pajak sebelum berlakunya Undang-undang ini, yang pelaksanaannya masih berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan lama, maka Undang-undang ini menentukan jangka waktu berlakunya peraturan perundang-undangan lama sampai dengan tanggal 31 Desember 1988. Penentuan jangka waktu lima tahun tersebut disesuaikan dengan kadaluwarsa penagihan pajak.
Pasal 46
Dengan berlakunya undang-undang ini semua peraturan pelaksanaan di bidang perpajalan yang lama tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini.
Penjelasan Pasal 46
Cukup Jelas.
Pasal 47
Dihapus.
Penjelasan Pasal 47
Dihapus.
Pasal 47A
Terhadap semua hak dan kewajiban yang belum diselesaikan, diberlakukan ketentuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994.
Penjelasan Pasal 47A
Dalam rangka memberikan kepastian kepada Wajib Pajak maka mengenai hak dan kewajiban perpajakan yang belum diselesaikan untuk tahun pajak 2000 dan sebelumnya tetap diberlakukan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 48
Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Penjelasan Pasal 48
Untuk menampung hal-hal yang belum cukup diatur mengenai tata cara atau kelengkapan yang materinya sudah dicantumkan dalam Undang-undang ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Dengan demikian lebih mudah mengadakan penyesuaian pelaksanaan Undang-undang ini dan tata cara yang diperlukan.
Pasal 49
Ketentuan dalam undang-undang ini berlaku pula bagi undang-undang perpajakan lainnya kecuali apabila ditentukan lain.
Penjelasan Pasal 49
Cukup Jelas.
Catatan :
1. | semua hak dan kewajiban perpajakan tahun 1994 dan sebelumnya, diberlakukan ketentuan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebelum dilakukan perubahan berdasarkan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994. (sesuai dengan bunyi Pasal II Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan). | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
2. | Terhadap semua hak dan kewajiban perpajakan Tahun Pajak 1995 sampai dengan Tahun Pajak 2000, diberlakukan ketentuan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 sebelum dilakukan perubahan berdasarkan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000. (sesuai dengan bunyi Pasal 47A Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan). | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
3. | Terhadap semua hak dan kewajiban perpajakan Tahun Pajak 2001 sampai dengan Tahun Pajak 2007 yang belum diselesaikan, diberlakukan ketentuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
4. | Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 1, daluwarsa penetapan untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya, selain penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau Pasal 15 ayat (4), berakhir paling lama pada akhir Tahun Pajak 2013. **********************
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :
Mengingat :
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA danPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) yang telah beberapa kali diubah dengan Undang-Undang:
diubah sebagai berikut:
Pasal 2
Pasal 3
Pasal 4
Pasal 6
Pasal 7
Pasal 8
Pasal 9
Pasal 11
Pasal 11A
Pasal 14
Pasal 16
Pasal 17
Pasal 18
Pasal 19
Pasal 21
Pasal 22
Pasal 23
Pasal 24
Pasal 25
Pasal 26
Pasal 29 Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih besar daripada kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), kekurangan pembayaran pajak yang terutang harus dilunasi sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan.
Pasal 31A
Pasal 31C
Pasal 31D Ketentuan mengenai perpajakan bagi bidang usaha pertambangan minyak dan gas bumi, bidang usaha panas bumi, bidang usaha pertambangan umum termasuk batubara, dan bidang usaha berbasis syariah diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Pasal 31E
Pasal 32 Tata cara pengenaan pajak dan sanksi-sanksi berkenaan dengan pelaksanaan Undang-Undang ini dilakukan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Pasal 32B Ketentuan mengenai pengenaan pajak atas bunga atau diskonto Obligasi Negara yang diperdagangkan di negara lain berdasarkan perjanjian perlakuan timbal balik dengan negara lain tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 35 Hal-hal yang belum cukup diatur dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal II Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 23 September 2008 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 23 September 2008 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 133 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN
Pasal I Angka 1 Pasal 1 Undang-Undang ini mengatur pengenaan Pajak Penghasilan terhadap subjek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Subjek pajak tersebut dikenai pajak apabila menerima atau memperoleh penghasilan. Subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan, dalam Undang-Undang ini disebut Wajib Pajak. Wajib Pajak dikenai pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak atau dapat pula dikenai pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak apabila kewajiban pajak subjektifnya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak. Yang dimaksud dengan “tahun pajak” dalam Undang-Undang ini adalah tahun kalender, tetapi Wajib Pajak dapat menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender, sepanjang tahun buku tersebut meliputi jangka waktu 12 (dua belas) bulan. Angka 2 Pasal 2 Ayat (1) Huruf a Orang pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan subjek pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai subjek pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan. Huruf b Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. Badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah merupakan subjek pajak tanpa memperhatikan nama dan bentuknya sehingga setiap unit tertentu dari badan Pemerintah, misalnya lembaga, badan, dan sebagainya yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan merupakan subjek pajak. Dalam pengertian perkumpulan termasuk pula asosiasi, persatuan, perhimpunan, atau ikatan dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang sama. Huruf c Cukup jelas. Ayat (1a) Cukup jelas. Ayat (2) Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri. Subjek pajak orang pribadi dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila telah menerima atau memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak. Subjek pajak badan dalam negeri menjadi Wajib Pajak sejak saat didirikan, atau bertempat kedudukan di Indonesia. Subjek pajak luar negeri baik orang pribadi maupun badan sekaligus menjadi Wajib Pajak karena menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia atau menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Dengan perkataan lain, Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif. Sehubungan dengan pemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), Wajib Pajak orang pribadi yang menerima penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) tidak wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP. Perbedaan yang penting antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri terletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya, antara lain:
Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, pemenuhan kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak badan dalam negeri sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini dan Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan. Ayat (3) Huruf a Pada prinsipnya orang pribadi yang menjadi subjek pajak dalam negeri adalah orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia. Termasuk dalam pengertian orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia adalah mereka yang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Apakah seseorang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia ditimbang menurut keadaan. Keberadaan orang pribadi di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari tidaklah harus berturut-turut, tetapi ditentukan oleh jumlah hari orang tersebut berada di Indonesia dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak kedatangannya di Indonesia. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi subjek pajak dalam negeri dianggap sebagai subjek pajak dalam negeri dalam pengertian Undang-Undang ini mengikuti status pewaris. Adapun untuk pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakannya, warisan tersebut menggantikan kewajiban ahli waris yang berhak. Apabila warisan tersebut telah dibagi, kewajiban perpajakannya beralih kepada ahli waris. Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi sebagai subjek pajak luar negeri yang tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, tidak dianggap sebagai subjek pajak pengganti karena pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi dimaksud melekat pada objeknya. Ayat (4) Huruf a dan huruf b Subjek pajak luar negeri adalah orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, baik melalui maupun tanpa melalui bentuk usaha tetap. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, tetapi berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan maka orang tersebut adalah subjek pajak luar negeri. Apabila penghasilan diterima atau diperoleh melalui bentuk usaha tetap maka terhadap orang pribadi atau badan tersebut dikenai pajak melalui bentuk usaha tetap. Orang pribadi atau badan tersebut, statusnya tetap sebagai subjek pajak luar negeri. Dengan demikian, bentuk usaha tetap tersebut menggantikan orang pribadi atau badan sebagai subjek pajak luar negeri dalam memenuhi kewajiban perpajakannya di Indonesia. Dalam hal penghasilan tersebut diterima atau diperoleh tanpa melalui bentuk usaha tetap maka pengenaan pajaknya dilakukan langsung kepada subjek pajak luar negeri tersebut. Ayat (5) Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha (place of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin, peralatan, gudang dan komputer atau agen elektronik atau peralatan otomatis (automated equipment) yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan aktivitas usaha melalui internet. Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi atau badan selaku agen yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tidak dapat dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila orang pribadi atau badan dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan agen, broker atau perantara yang mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara tersebut dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan perusahaannya sendiri. Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar Indonesia dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila perusahaan asuransi tersebut menerima pembayaran premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia melalui pegawai, perwakilan atau agennya di Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada, atau bertempat kedudukan di Indonesia. Ayat (6) Penentuan tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan penting untuk menetapkan Kantor Pelayanan Pajak mana yang mempunyai yurisdiksi pemajakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan tersebut. Pada dasarnya tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditentukan menurut keadaan yang sebenarnya. Dengan demikian penentuan tempat tinggal atau tempat kedudukan tidak hanya didasarkan pada pertimbangan yang bersifat formal, tetapi lebih didasarkan pada kenyataan. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam menentukan tempat tinggal seseorang atau tempat kedudukan badan tersebut, antara lain domisili, alamat tempat tinggal, tempat tinggal keluarga, tempat menjalankan usaha pokok atau hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan untuk memudahkan pelaksanaan pemenuhan kewajiban pajak. Angka 3 Pasal 3 Ayat (1) Sesuai dengan kelaziman internasional, kantor perwakilan negara asing beserta pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, konsulat dan pejabat-pejabat lainnya, dikecualikan sebagai subjek pajak di tempat mereka mewakili negaranya. Pengecualian sebagai subjek pajak bagi pejabat-pejabat tersebut tidak berlaku apabila mereka memperoleh penghasilan lain di luar jabatannya atau mereka adalah Warga Negara Indonesia. Dengan demikian apabila pejabat perwakilan suatu negara asing memperoleh penghasilan lain di Indonesia di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut, maka ia termasuk subjek pajak yang dapat dikenai pajak atas penghasilan lain tersebut. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 4 Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang ini menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut. Pengertian penghasilan dalam Undang-Undang ini tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan. Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak, penghasilan dapat dikelompokkan menjadi:
Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan Wajib Pajak. Karena Undang-Undang ini menganut pengertian penghasilan yang luas maka semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian, apabila dalam satu tahun pajak suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan lainnya (kompensasi horizontal), kecuali kerugian yang diderita di luar negeri. Namun demikian, apabila suatu jenis penghasilan dikenai pajak dengan tarif yang bersifat final atau dikecualikan dari objek pajak, maka penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenai tarif umum. Contoh-contoh penghasilan yang disebut dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk memperjelas pengertian tentang penghasilan yang luas yang tidak terbatas pada contoh-contoh dimaksud. Huruf a Semua pembayaran atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan, seperti upah, gaji, premi asuransi jiwa, dan asuransi kesehatan yang dibayar oleh pemberi kerja, atau imbalan dalam bentuk lainnya adalah Objek Pajak. Pengertian imbalan dalam bentuk lainnya termasuk imbalan dalam bentuk natura yang pada hakikatnya merupakan penghasilan. Huruf b Dalam pengertian hadiah termasuk hadiah dari undian, pekerjaan, dan kegiatan seperti hadiah undian tabungan, hadiah dari pertandingan olahraga dan lain sebagainya. Yang dimaksud dengan penghargaan adalah imbalan yang diberikan sehubungan dengan kegiatan tertentu, misalnya imbalan yang diterima sehubungan dengan penemuan benda-benda purbakala. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Apabila Wajib Pajak menjual harta dengan harga yang lebih tinggi dari nilai sisa buku atau lebih tinggi dari harga atau nilai perolehan, selisih harga tersebut merupakan keuntungan. Dalam hal penjualan harta tersebut terjadi antara badan usaha dan pemegang sahamnya, harga jual yang dipakai sebagai dasar untuk penghitungan keuntungan dari penjualan tersebut adalah harga pasar. Misalnya, PT S memiliki sebuah mobil yang digunakan dalam kegiatan usahanya dengan nilai sisa buku sebesar Rp 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah). Mobil tersebut dijual dengan harga Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Dengan demikian, keuntungan PT S yang diperoleh karena penjualan mobil tersebut adalah Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah). Apabila mobil tersebut dijual kepada salah seorang pemegang sahamnya dengan harga Rp 55.000.000,00 (lima puluh lima juta rupiah), nilai jual mobil tersebut tetap dihitung berdasarkan harga pasar sebesar Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Selisih sebesar Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) merupakan keuntungan bagi PT S dan bagi pemegang saham yang membeli mobil tersebut selisih sebesar Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) merupakan penghasilan. Apabila suatu badan dilikuidasi, keuntungan dari penjualan harta, yaitu selisih antara harga jual berdasarkan harga pasar dan nilai sisa buku harta tersebut, merupakan objek pajak. Demikian juga selisih lebih antara harga pasar dan nilai sisa buku dalam hal terjadi penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha merupakan penghasilan. Dalam hal terjadi pengalihan harta sebagai pengganti saham atau penyertaan modal, keuntungan berupa selisih antara harga pasar dari harta yang diserahkan dan nilai bukunya merupakan penghasilan. Keuntungan berupa selisih antara harga pasar dan nilai perolehan atau nilai sisa buku atas pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan merupakan penghasilan bagi pihak yang mengalihkan kecuali harta tersebut dihibahkan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat. Demikian juga, keuntungan berupa selisih antara harga pasar dan nilai perolehan atau nilai sisa buku atas pengalihan harta berupa bantuan atau sumbangan dan hibah kepada badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan bukan merupakan penghasilan, sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan. Dalam hal Wajib Pajak pemilik hak penambangan mengalihkan sebagian atau seluruh hak tersebut kepada Wajib Pajak lain, keuntungan yang diperoleh merupakan objek pajak. Huruf e Pengembalian pajak yang telah dibebankan sebagai biaya pada saat menghitung Penghasilan Kena Pajak merupakan objek pajak. Sebagai contoh, Pajak Bumi dan Bangunan yang sudah dibayar dan dibebankan sebagai biaya, yang karena sesuatu sebab dikembalikan, maka jumlah sebesar pengembalian tersebut merupakan penghasilan. Huruf f Dalam pengertian bunga termasuk pula premium, diskonto dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang. Premium terjadi apabila misalnya surat obligasi dijual di atas nilai nominalnya sedangkan diskonto terjadi apabila surat obligasi dibeli di bawah nilai nominalnya. Premium tersebut merupakan penghasilan bagi yang menerbitkan obligasi dan diskonto merupakan penghasilan bagi yang membeli obligasi. Huruf g Dividen merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham atau pemegang polis asuransi atau pembagian sisa hasil usaha koperasi yang diperoleh anggota koperasi. Termasuk dalam pengertian dividen adalah:
Dalam praktek sering dijumpai pembagian atau pembayaran dividen secara terselubung, misalnya dalam hal pemegang saham yang telah menyetor penuh modalnya dan memberikan pinjaman kepada perseroan dengan imbalan bunga yang melebihi kewajaran. Apabila terjadi hal yang demikian maka selisih lebih antara bunga yang dibayarkan dan tingkat bunga yang berlaku di pasar, diperlakukan sebagai dividen. Bagian bunga yang diperlakukan sebagai dividen tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya oleh perseroan yang bersangkutan. Huruf h Royalti adalah suatu jumlah yang dibayarkan atau terutang dengan cara atau perhitungan apa pun, baik dilakukan secara berkala maupun tidak, sebagai imbalan atas:
Huruf i Dalam pengertian sewa termasuk imbalan yang diterima atau diperoleh dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan penggunaan harta gerak atau harta tak gerak, misalnya sewa mobil, sewa kantor, sewa rumah, dan sewa gudang. Huruf j Penerimaan berupa pembayaran berkala, misalnya "alimentasi" atau tunjangan seumur hidup yang dibayar secara berulang-ulang dalam waktu tertentu. Huruf k Pembebasan utang oleh pihak yang berpiutang dianggap sebagai penghasilan bagi pihak yang semula berutang, sedangkan bagi pihak yang berpiutang dapat dibebankan sebagai biaya. Namun, dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan bahwa pembebasan utang debitur kecil misalnya Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra), Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit Usaha Rakyat (KUR), kredit untuk perumahan sangat sederhana, serta kredit kecil lainnya sampai dengan jumlah tertentu dikecualikan sebagai objek pajak. Huruf l Keuntungan yang diperoleh karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia. Huruf m Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 merupakan penghasilan. Huruf n Dalam pengertian premi asuransi termasuk premi reasuransi. Huruf o Cukup jelas. Huruf p Tambahan kekayaan neto pada hakekatnya merupakan akumulasi penghasilan baik yang telah dikenakan pajak dan yang bukan Objek Pajak serta yang belum dikenakan pajak. Apabila diketahui adanya tambahan kekayaan neto yang melebihi akumulasi penghasilan yang telah dikenakan pajak dan yang bukan Objek Pajak, maka tambahan kekayaan neto tersebut merupakan penghasilan. Huruf q Kegiatan usaha berbasis syariah memiliki landasan filosofi yang berbeda dengan kegiatan usaha yang bersifat konvensional. Namun, penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha berbasis syariah tersebut tetap merupakan objek pajak menurut Undang-Undang ini. Huruf r Cukup jelas. Huruf s Cukup jelas. Ayat (2) Sesuai dengan ketentuan pada ayat (1), penghasilan-penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat ini merupakan objek pajak. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan antara lain:
Perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajak atas jenis penghasilan tersebut termasuk sifat, besarnya, dan tata cara pelaksanaan pembayaran, pemotongan, atau pemungutan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Obligasi sebagaimana dimaksud pada ayat ini termasuk surat utang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan, seperti Medium Term Note, Floating Rate Note yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan. Surat Utang Negara yang dimaksud pada ayat ini meliputi Obligasi Negara dan Surat Perbendaharaan Negara. Ayat (3) Huruf a Bantuan atau sumbangan bagi pihak yang menerima bukan merupakan objek pajak sepanjang diterima tidak dalam rangka hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan kepemilikan, atau hubungan penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan. Zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat yang berhak serta sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama lainnya yang diakui di Indonesia yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak diperlakukan sama seperti bantuan atau sumbangan. Yang dimaksud dengan “zakat” adalah zakat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai zakat. Hubungan usaha antara pihak yang memberi dan yang menerima dapat terjadi, misalnya PT A sebagai produsen suatu jenis barang yang bahan baku utamanya diproduksi oleh PT B. Apabila PT B memberikan sumbangan bahan baku kepada PT A, sumbangan bahan baku yang diterima oleh PT A merupakan objek pajak. Harta hibahan bagi pihak yang menerima bukan merupakan objek pajak apabila diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan, badan pendidikan, atau badan sosial termasuk yayasan atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang diterima tidak dalam rangka hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan kepemilikan, atau hubungan penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Pada prinsipnya harta, termasuk setoran tunai, yang diterima oleh badan merupakan tambahan kemampuan ekonomis bagi badan tersebut. Namun karena harta tersebut diterima sebagai pengganti saham atau penyertaan modal, maka berdasarkan ketentuan ini, harta yang diterima tersebut bukan merupakan objek pajak. Huruf d Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa merupakan tambahan kemampuan ekonomis yang diterima bukan dalam bentuk uang. Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura seperti beras, gula, dan sebagainya, dan imbalan dalam bentuk kenikmatan, seperti penggunaan mobil, rumah, dan fasilitas pengobatan bukan merupakan objek pajak. Apabila yang memberi imbalan berupa natura atau kenikmatan tersebut bukan Wajib Pajak atau Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dan Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit), imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan tersebut merupakan penghasilan bagi yang menerima atau memperolehnya. Misalnya, seorang penduduk Indonesia menjadi pegawai pada suatu perwakilan diplomatik asing di Jakarta. Pegawai tersebut memperoleh kenikmatan menempati rumah yang disewa oleh perwakilan diplomatik tersebut atau kenikmatan-kenikmatan lainnya. Kenikmatan-kenikmatan tersebut merupakan penghasilan bagi pegawai tersebut sebab perwakilan diplomatik yang bersangkutan bukan merupakan Wajib Pajak. Huruf e Penggantian atau santunan yang diterima oleh orang pribadi dari perusahaan asuransi sehubungan dengan polis asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, bukan merupakan Objek Pajak. Hal ini selaras dengan ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d, yaitu bahwa premi asuransi yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi untuk kepentingan dirinya tidak boleh dikurangkan dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak. Huruf f Berdasarkan ketentuan ini, dividen yang dananya berasal dari laba setelah dikurangi pajak dan diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, dan badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah, dari penyertaannya pada badan usaha lainnya yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia, dengan penyertaan sekurang-kurangnya 25% (dua puluh lima persen), tidak termasuk objek pajak. Yang dimaksud dengan “badan usaha milik negara” dan “badan usaha milik daerah” pada ayat ini, antara lain, adalah perusahaan perseroan (Persero), bank pemerintah, dan bank pembangunan daerah. Perlu ditegaskan bahwa dalam hal penerima dividen atau bagian laba adalah Wajib Pajak selain badan-badan tersebut di atas, seperti orang pribadi baik dalam negeri maupun luar negeri, firma, perseroan komanditer, yayasan dan organisasi sejenis dan sebagainya, penghasilan berupa dividen atau bagian laba tersebut tetap merupakan objek pajak. Huruf g Pengecualian sebagai Objek Pajak berdasarkan ketentuan ini hanya berlaku bagi dana pensiun yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan. Yang dikecualikan dari Objek Pajak adalah iuran yang diterima dari peserta pensiun, baik atas beban sendiri maupun yang ditanggung pemberi kerja. Pada dasarnya iuran yang diterima oleh dana pensiun tersebut merupakan dana milik dari peserta pensiun, yang akan dibayarkan kembali kepada mereka pada waktunya. Pengenaan pajak atas iuran tersebut berarti mengurangi hak para peserta pensiun, dan oleh karena itu iuran tersebut dikecualikan sebagai Objek Pajak. Huruf h Sebagaimana tersebut dalam huruf g, pengecualian sebagai Objek Pajak berdasarkan ketentuan ini hanya berlaku bagi dana pensiun yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan. Yang dikecualikan dari Objek Pajak dalam hal ini adalah penghasilan dari modal yang ditanamkan di bidang-bidang tertentu berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan. Penanaman modal oleh dana pensiun dimaksudkan untuk pengembangan dan merupakan dana untuk pembayaran kembali kepada peserta pensiun di kemudian hari, sehingga penanaman modal tersebut perlu diarahkan pada bidang-bidang yang tidak bersifat spekulatif atau yang berisiko tinggi. Oleh karena itu penentuan bidang-bidang tertentu dimaksud ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. Huruf i Untuk kepentingan pengenaan pajak, badan-badan sebagaimana disebut dalam ketentuan ini yang merupakan himpunan para anggotanya dikenai pajak sebagai satu kesatuan, yaitu pada tingkat badan tersebut. Oleh karena itu, bagian laba yang diterima oleh para anggota badan tersebut bukan lagi merupakan objek pajak. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Yang dimaksud dengan “perusahaan modal ventura” adalah suatu perusahaan yang kegiatan usahanya membiayai badan usaha (sebagai pasangan usaha) dalam bentuk penyertaan modal untuk suatu jangka waktu tertentu. Berdasarkan ketentuan ini, bagian laba yang diterima atau diperoleh dari perusahaan pasangan usaha tidak termasuk sebagai objek pajak, dengan syarat perusahaan pasangan usaha tersebut merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dalam sektor-sektor tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dan saham perusahaan tersebut tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia. Apabila pasangan usaha perusahaan modal ventura memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf f, dividen yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura bukan merupakan objek pajak. Agar kegiatan perusahaan modal ventura dapat diarahkan kepada sektor-sektor kegiatan ekonomi yang memperoleh prioritas untuk dikembangkan, misalnya untuk meningkatkan ekspor nonmigas, usaha atau kegiatan dari perusahaan pasangan usaha tersebut diatur oleh Menteri Keuangan. Mengingat perusahaan modal ventura merupakan alternatif pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal, penyertaan modal yang akan dilakukan oleh perusahaan modal ventura diarahkan pada perusahaan-perusahaan yang belum mempunyai akses ke bursa efek. Huruf l Cukup jelas. Huruf m Bahwa dalam rangka mendukung usaha peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan diperlukan sarana dan prasarana yang memadai. Untuk itu dipandang perlu memberikan fasilitas perpajakan berupa pengecualian pengenaan pajak atas sisa lebih yang diterima atau diperoleh sepanjang sisa lebih tersebut ditanamkan kembali dalam bentuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan dimaksud. Penanaman kembali sisa lebih dimaksud harus direalisasikan paling lama dalam jangka waktu 4 (empat) tahun sejak sisa lebih tersebut diterima atau diperoleh. Untuk menjamin tercapainya tujuan pemberian fasilitas ini, maka lembaga atau badan yang menyelenggarakan pendidikan harus bersifat nirlaba. Pendidikan serta penelitian dan pengembangan yang diselenggarakan bersifat terbuka kepada siapa saja dan telah mendapat pengesahan dari instansi yang membidanginya. Huruf n Bantuan atau santunan yang diberikan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kepada Wajib Pajak tertentu adalah bantuan sosial yang diberikan khusus kepada Wajib Pajak atau anggota masyarakat yang tidak mampu atau sedang mendapat bencana alam atau tertimpa musibah. Angka 5 Pasal 6 Ayat (1) Beban-beban yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dapat dibagi dalam 2 (dua) golongan, yaitu beban atau biaya yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun dan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun. Beban yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun merupakan biaya pada tahun yang bersangkutan, misalnya gaji, biaya administrasi dan bunga, biaya rutin pengolahan limbah dan sebagainya, sedangkan pengeluaran yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau melalui amortisasi. Di samping itu, apabila dalam suatu tahun pajak didapat kerugian karena penjualan harta atau karena selisih kurs, kerugian-kerugian tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Huruf a Biaya-biaya yang dimaksud pada ayat ini lazim disebut biaya sehari-hari yang boleh dibebankan pada tahun pengeluaran. Untuk dapat dibebankan sebagai biaya, pengeluaran-pengeluaran tersebut harus mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak. Dengan demikian, pengeluaran-pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan objek pajak tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Contoh: Dana Pensiun A yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan memperoleh penghasilan bruto yang terdiri dari:
Apabila seluruh biaya adalah sebesar Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), biaya yang boleh dikurangkan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan adalah sebesar 3/4 x Rp200.000.000,00 = Rp150.000.000,00. Demikian pula bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk membeli saham tidak dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang dividen yang diterimanya tidak merupakan objek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f. Bunga pinjaman yang tidak boleh dibiayakan tersebut dapat dikapitalisasi sebagai penambah harga perolehan saham. Pengeluaran-pengeluaran yang tidak ada hubungannya dengan upaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, misalnya pengeluaran-pengeluaran untuk keperluan pribadi pemegang saham, pembayaran bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk keperluan pribadi peminjam serta pembayaran premi asuransi untuk kepentingan pribadi, tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Pembayaran premi asuransi oleh pemberi kerja untuk kepentingan pegawainya boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan, tetapi bagi pegawai yang bersangkutan premi tersebut merupakan penghasilan. Pengeluaran-pengeluaransehubungan dengan pekerjaan yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto harus dilakukan dalam bentuk uang. Pengeluaran yang dilakukan dalam bentuk natura atau kenikmatan, misalnya fasilitas menempati rumah dengan cuma-cuma, tidak boleh dibebankan sebagai biaya, dan bagi pihak yang menerima atau menikmati bukan merupakan penghasilan. Namun, pengeluaran dalam bentuk natura atau kenikmatan tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) huruf e, boleh dibebankan sebagai biaya dan bagi pihak yang menerima atau menikmati bukan merupakan penghasilan. Pengeluaran-pengeluaran yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto harus dilakukan dalam batas-batas yang wajar sesuai dengan adat kebiasaan pedagang yang baik. Dengan demikian, apabila pengeluaran yang melampaui batas kewajaran tersebut dipengaruhi oleh hubungan istimewa, jumlah yang melampaui batas kewajaran tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. Selanjutnya lihat ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf f dan Pasal 18 beserta penjelasannya. Pajak-pajak yang menjadi beban perusahaan dalam rangka usahanya selain Pajak Penghasilan, misalnya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Meterai (BM), Pajak Hotel, dan Pajak Restoran, dapat dibebankan sebagai biaya. Mengenai pengeluaran untuk promosi perlu dibedakan antara biaya yang benar-benar dikeluarkan untuk promosi dan biaya yang pada hakikatnya merupakan sumbangan. Biaya yang benar-benar dikeluarkan untuk promosi boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. Besarnya biaya promosi dan penjualan yang diperkenankan sebagai pengurang penghasilan bruto diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Huruf b Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan harta tak berwujud serta pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau amortisasi. Selanjutnya lihat ketentuan Pasal 9 ayat (2), Pasal 11, dan Pasal 11A beserta penjelasannya. Pengeluaran yang menurut sifatnya merupakan pembayaran di muka, misalnya sewa untuk beberapa tahun yang dibayar sekaligus, pembebanannya dapat dilakukan melalui alokasi. Huruf c Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan boleh dibebankan sebagai biaya, sedangkan iuran yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya tidak atau belum disahkan oleh Menteri Keuangan tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Huruf d Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang menurut tujuan semula tidak dimaksudkan untuk dijual atau dialihkan yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki tetapi tidak digunakan dalam perusahaan, atau yang dimiliki tetapi tidak digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. Huruf e Kerugian karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia. Huruf f Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia dalam jumlah yang wajar untuk menemukan teknologi atau sistem baru bagi pengembangan perusahaan boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan. Huruf g Biaya yang dikeluarkan untuk keperluan beasiswa, magang, dan pelatihan dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan dengan memperhatikan kewajaran, termasuk beasiswa yang dapat dibebankan sebagai biaya adalah beasiswa yang diberikan kepada pelajar, mahasiswa, dan pihak lain. Huruf h Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang Wajib Pajak telah mengakuinya sebagai biaya dalam laporan laba-rugi komersial dan telah melakukan upaya-upaya penagihan yang maksimal atau terakhir. Yang dimaksud dengan penerbitan tidak hanya berarti penerbitan berskala nasional, melainkan juga penerbitan internal asosiasi dan sejenisnya. Tata cara pelaksanaan persyaratan yang ditentukan dalam ayat (1) huruf h ini diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. Huruf m Cukup jelas. Ayat (2) Jika pengeluaran-pengeluaran yang diperkenankan berdasarkan ketentuan pada ayat (1) setelah dikurangkan dari penghasilan bruto didapat kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan neto atau laba fiskal selama 5 (lima) tahun berturut-turut dimulai sejak tahun berikutnya sesudah tahun didapatnya kerugian tersebut. Contoh : PT A dalam tahun 2009 menderita kerugian fiskal sebesar Rp1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah). Dalam 5 (lima) tahun berikutnya laba rugi fiskal PT A sebagai berikut : 2010 : laba fiskal Rp200.000.000,00 2011 : rugi fiskal (Rp300.000.000,00) 2012 : laba fiskal Rp N I H I L 2013 : laba fiskal Rp100.000.000,00 2014 : laba fiskal Rp800.000.000,00 Kompensasi kerugian dilakukan sebagai berikut :
Rugi fiskal tahun 2009 sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) yang masih tersisa pada akhir tahun 2014 tidak boleh dikompensasikan lagi dengan laba fiskal tahun 2015, sedangkan rugi fiskal tahun 2011 sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) hanya boleh dikompensasikan dengan laba fiskal tahun 2015 dan tahun 2016, karena jangka waktu lima tahun yang dimulai sejak tahun 2012 berakhir pada akhir tahun 2016. Ayat (3) Dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, kepadanya diberikan pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7. Angka 6 Pasal 7 Ayat (1) Untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak dari Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, penghasilan netonya dikurangi dengan jumlah Penghasilan Tidak Kena Pajak. Di samping untuk dirinya, kepada Wajib Pajak yang sudah kawin diberikan tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak. Bagi Wajib Pajak yang isterinya menerima atau memperoleh penghasilan yang digabung dengan penghasilannya, Wajib Pajak tersebut mendapat tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk seorang isteri paling sedikit sebesar Rp15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah). Wajib Pajak yang mempunyai anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus yang menjadi tanggungan sepenuhnya, misalnya orang tua, mertua, anak kandung, atau anak angkat diberikan tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk paling banyak 3 (tiga) orang. Yang dimaksud dengan “anggota keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya” adalah anggota keluarga yang tidak mempunyai penghasilan dan seluruh biaya hidupnya ditanggung oleh Wajib Pajak. Contoh: Wajib Pajak A mempunyai seorang isteri dengan tanggungan 4 (empat) orang anak. Apabila isterinya memperoleh penghasilan dari satu pemberi kerja yang sudah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lainnya, besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak A adalah sebesar Rp 21.120.000,00 {Rp15.840.000,00 + Rp1.320.000,00 + (3 x Rp1.320.000,00)}, sedangkan untuk isterinya, pada saat pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 oleh pemberi kerja diberikan Penghasilan Tidak Kena Pajak sebesar Rp 15.840.000,00. Apabila penghasilan isteri harus digabung dengan penghasilan suami, besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak A adalah sebesar Rp36.960.000,00 (Rp21.120.000,00 + Rp15.840.000,00). Ayat (2) Penghitungan besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan menurut keadaan Wajib Pajak pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak. Ayat (3)Misalnya, pada tanggal 1 Januari 2009 Wajib Pajak B berstatus kawin dengan tanggungan 1 (satu) orang anak. Apabila anak yang kedua lahir setelah tanggal 1 Januari 2009, besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak B untuk tahun pajak 2009 tetap dihitung berdasarkan status kawin dengan 1 (satu) anak. Berdasarkan ketentuan ini Menteri Keuangan diberikan wewenang untuk mengubah besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter serta perkembangan harga kebutuhan pokok setiap tahunnya. Angka 7 Pasal 8 Sistem pengenaan pajak berdasarkan Undang-Undang ini menempatkan keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis, artinya penghasilan atau kerugian dari seluruh anggota keluarga digabungkan sebagai satu kesatuan yang dikenai pajak dan pemenuhan kewajiban pajaknya dilakukan oleh kepala keluarga. Namun, dalam hal-hal tertentu pemenuhan kewajiban pajak tersebut dilakukan secara terpisah. Ayat (1) Penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya dan dikenai pajak sebagai satu kesatuan. Penggabungan tersebut tidak dilakukan dalam hal penghasilan isteri diperoleh dari pekerjaan sebagai pegawai yang telah dipotong pajak oleh pemberi kerja, dengan ketentuan bahwa:
Contoh: Wajib Pajak A yang memperoleh penghasilan neto dari usaha sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) mempunyai seorang isteri yang menjadi pegawai dengan penghasilan neto sebesar Rp70.000.000,00 (tujuh puluh juta rupiah). Apabila penghasilan isteri tersebut diperoleh dari satu pemberi kerja dan telah dipotong pajak oleh pemberi kerja dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lainnya, penghasilan neto sebesar Rp70.000.000,00 (tujuh puluh juta rupiah) tidak digabung dengan penghasilan A dan pengenaan pajak atas penghasilan isteri tersebut bersifat final. Apabila selain menjadi pegawai, isteri A juga menjalankan usaha, misalnya salon kecantikan dengan penghasilan neto sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah), seluruh penghasilan isteri sebesar Rp150.000.000,00 (Rp70.000.000,00 + Rp80.000.000,00) digabungkan dengan penghasilan A. Dengan penggabungan tersebut, A dikenai pajak atas penghasilan neto sebesar Rp250.000.000,00 (Rp100.000.000,00 + Rp70.000.000,00 + Rp80.000.000,00). Potongan pajak atas penghasilan isteri tidak bersifat final, artinya dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang atas penghasilan sebesar Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) tersebut yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan. Ayat (2) dan ayat (3) Dalam hal suami-isteri telah hidup berpisah berdasarkan keputusan hakim, penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan pengenaan pajaknya dilakukan sendiri-sendiri. Apabila suami isteri mengadakan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan secara tertulis atau jika isteri menghendaki untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri, penghitungan pajaknya dilakukan berdasarkan penjumlahan penghasilan neto suami-isteri dan masing-masing memikul beban pajak sebanding dengan besarnya penghasilan neto. Contoh: Penghitungan pajak bagi suami-isteri yang mengadakan perjanjian pemisahan penghasilan secara tertulis atau jika isteri menghendaki untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri adalah sebagai berikut. Dari contoh pada ayat (1), apabila isteri menjalankan usaha salon kecantikan, pengenaan pajaknya dihitung berdasarkan jumlah penghasilan sebesar Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). Misalnya, pajak yang terutang atas jumlah penghasilan tersebut adalah sebesar Rp27.550.000,00 (dua puluh tujuh juta lima ratus lima puluh ribu rupiah) maka untuk masing-masing suami dan isteri pengenaan pajaknya dihitung sebagai berikut:
Penghasilan anak yang belum dewasa dari mana pun sumber penghasilannya dan apa pun sifat pekerjaannya digabung dengan penghasilan orang tuanya dalam tahun pajak yang sama. Yang dimaksud dengan “anak yang belum dewasa” adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah. Apabila seorang anak belum dewasa, yang orang tuanya telah berpisah, menerima atau memperoleh penghasilan, pengenaan pajaknya digabungkan dengan penghasilan ayah atau ibunya berdasarkan keadaan sebenarnya. Angka 8 Pasal 9 Ayat (1) Pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan Wajib Pajak dapat dibedakan antara pengeluaran yang boleh dan yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Pada prinsipnya biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah biaya yang mempunyai hubungan langsung dan tidak langsung dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak yang pembebanannya dapat dilakukan dalam tahun pengeluaran atau selama masa manfaat dari pengeluaran tersebut. Pengeluaran yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto meliputi pengeluaran yang sifatnya pemakaian penghasilan atau yang jumlahnya melebihi kewajaran. Huruf a Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk pembayaran dividen kepada pemilik modal, pembagian sisa hasil usaha koperasi kepada anggotanya, dan pembayaran dividen oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan badan yang membagikannya karena pembagian laba tersebut merupakan bagian dari penghasilan badan tersebut yang akan dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini. Huruf b Tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan adalah biaya-biaya yang dikeluarkan atau dibebankan oleh perusahaan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu atau anggota, seperti perbaikan rumah pribadi, biaya perjalanan, biaya premi asuransi yang dibayar oleh perusahaan untuk kepentingan pribadi para pemegang saham atau keluarganya. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Premi untuk asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak orang pribadi tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto, dan pada saat orang pribadi dimaksud menerima penggantian atau santunan asuransi, penerimaan tersebut bukan merupakan Objek Pajak. Apabila premi asuransi tersebut dibayar atau ditanggung oleh pemberi kerja, maka bagi pemberi kerja pembayaran tersebut boleh dibebankan sebagai biaya dan bagi pegawai yang bersangkutan merupakan penghasilan yang merupakan Objek Pajak. Huruf e Sebagaimana telah diuraikan dalam penjelasan Pasal 4 ayat (3) huruf d, penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan dianggap bukan merupakan objek pajak. Selaras dengan hal tersebut, dalam ketentuan ini penggantian atau imbalan dimaksud dianggap bukan merupakan pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai biaya bagi pemberi kerja. Namun, dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, pemberian natura dan kenikmatan berikut ini dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja dan bukan merupakan penghasilan pegawai yang menerimanya:
Huruf f Dalam hubungan pekerjaan, kemungkinan dapat terjadi pembayaran imbalan yang diberikan kepada pegawai yang juga pemegang saham. Karena pada dasarnya pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah pengeluaran yang jumlahnya wajar sesuai dengan kelaziman usaha, berdasarkan ketentuan ini jumlah yang melebihi kewajaran tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Misalnya, seorang tenaga ahli yang merupakan pemegang saham dari suatu badan memberikan jasa kepada badan tersebut dengan memperoleh imbalan sebesar Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Apabila untuk jasa yang sama yang diberikan oleh tenaga ahli lain yang setara hanya dibayar sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah), jumlah sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Bagi tenaga ahli yang juga sebagai pemegang saham tersebut jumlah sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) dimaksud dianggap sebagai dividen. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Yang dimaksudkan dengan Pajak Penghasilan dalam ketentuan ini adalah Pajak Penghasilan yang terutang oleh Wajib Pajak yang bersangkutan. Huruf i Biaya untuk keperluan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya, pada hakekatnya merupakan penggunaan penghasilan oleh Wajib Pajak yang bersangkutan. Oleh karena itu biaya tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan. Huruf j Anggota firma, persekutuan dan perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham diperlakukan sebagai satu kesatuan, sehingga tidak ada imbalan sebagai gaji. Dengan demikian gaji yang diterima oleh anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham, bukan merupakan pembayaran yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto badan tersebut. Huruf k Cukup jelas. Ayat (2) Sesuai dengan kelaziman usaha, pengeluaran yang mempunyai peranan terhadap penghasilan untuk beberapa tahun, pembebanannya dilakukan sesuai dengan jumlah tahun lamanya pengeluaran tersebut berperan terhadap penghasilan. Sejalan dengan prinsip penyelarasan antara pengeluaran dengan penghasilan, dalam ketentuan ini pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dapat dikurangkan sebagai biaya perusahaan sekaligus pada tahun pengeluaran, melainkan dibebankan melalui penyusutan dan amortisasi selama masa manfaatnya sebagaimana diatur dalam Pasal 11 dan Pasal 11A. Angka 9 Pasal 11 Ayat (1) dan ayat (2) Pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun harus dibebankan sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dengan cara mengalokasikan pengeluaran tersebut selama masa manfaat harta berwujud melalui penyusutan. Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh tanah hak milik, termasuk tanah berstatus hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai yang pertama kali tidak boleh disusutkan, kecuali apabila tanah tersebut dipergunakan dalam perusahaan atau dimiliki untuk memperoleh penghasilan dengan syarat nilai tanah tersebut berkurang karena penggunaannya untuk memperoleh penghasilan, misalnya tanah dipergunakan untuk perusahaan genteng, perusahaan keramik, atau perusahaan batu bata. Yang dimaksud dengan “pengeluaran untuk memperoleh tanah hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai yang pertama kali” adalah biaya perolehan tanah berstatus hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai dari pihak ketiga dan pengurusan hak-hak tersebut dari instansi yang berwenang untuk pertama kalinya, sedangkan biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai diamortisasikan selama jangka waktu hak-hak tersebut. Metode penyusutan yang dibolehkan berdasarkan ketentuan ini dilakukan:
Penggunaan metode penyusutan atas harta harus dilakukan secara taat asas. Untuk harta berwujud berupa bangunan hanya dapat disusutkan dengan metode garis lurus. Harta berwujud selain bangunan dapat disusutkan dengan metode garis lurus atau metode saldo menurun. Dalam hal Wajib Pajak memilih menggunakan metode saldo menurun, nilai sisa buku pada akhir masa manfaat harus disusutkan sekaligus. Sesuai dengan pembukuan Wajib Pajak, alat-alat kecil (small tools) yang sama atau sejenis dapat disusutkan dalam satu golongan. Contoh penggunaan metode garis lurus: Sebuah gedung yang harga perolehannya Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan masa manfaatnya 20 (dua puluh) tahun, penyusutannya setiap tahun adalah sebesar Rp50.000.000,00 (Rp1.000.000.000,00 : 20). Contoh penggunaan metode saldo menurun: Sebuah mesin yang dibeli dan ditempatkan pada bulan Januari 2009 dengan harga perolehan sebesar Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Masa manfaat dari mesin tersebut adalah 4 (empat) tahun. Kalau tarif penyusutan misalnya ditetapkan 50% (lima puluh persen), penghitungan penyusutannya adalah sebagai berikut.
Ayat (3) Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran atau pada bulan selesainya pengerjaan suatu harta sehingga penyusutan pada tahun pertama dihitung secara pro-rata. Contoh 1: Pengeluaran untuk pembangunan sebuah gedung adalah sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pembangunan dimulai pada bulan Oktober 2009 dan selesai untuk digunakan pada bulan Maret 2010. Penyusutan atas harga perolehan bangunan gedung tersebut dimulai pada bulan Maret tahun pajak 2010. Contoh 2: Sebuah mesin yang dibeli dan ditempatkan pada bulan Juli 2009 dengan harga perolehan sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Masa manfaat dari mesin tersebut adalah 4 (empat) tahun. Kalau tarif penyusutan misalnya ditetapkan 50% (lima puluh persen), maka penghitungan penyusutannya adalah sebagai berikut.
Berdasarkan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, saat mulainya penyusutan dapat dilakukan pada bulan harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau pada bulan harta tersebut mulai menghasilkan. Saat mulai menghasilkan dalam ketentuan ini dikaitkan dengan saat mulai berproduksi dan tidak dikaitkan dengan saat diterima atau diperolehnya penghasilan. Contoh: PT X yang bergerak di bidang perkebunan membeli traktor pada tahun 2009. Perkebunan tersebut mulai menghasilkan (panen) pada tahun 2010. Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, penyusutan traktor tersebut dapat dilakukan mulai tahun 2010. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Untuk memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak dalam melakukan penyusutan atas pengeluaran harta berwujud, ketentuan ini mengatur kelompok masa manfaat harta dan tarif penyusutan baik menurut metode garis lurus maupun saldo menurun. Yang dimaksud dengan “bangunan tidak permanen” adalah bangunan yang bersifat sementara dan terbuat dari bahan yang tidak tahan lama atau bangunan yang dapat dipindah-pindahkan, yang masa manfaatnya tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun, misalnya barak atau asrama yang dibuat dari kayu untuk karyawan. Ayat (7) Dalam rangka menyesuaikan dengan karakteristik bidang-bidang usaha tertentu, seperti perkebunan tanaman keras, kehutanan, dan peternakan, perlu diberikan pengaturan tersendiri untuk penyusutan harta berwujud yang digunakan dalam bidang-bidang usaha tertentu tersebut yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Ayat (8) dan ayat (9) Pada dasarnya keuntungan atau kerugian karena pengalihan harta dikenai pajak dalam tahun dilakukannya pengalihan harta tersebut. Apabila harta tersebut dijual atau terbakar, maka penerimaan neto dari penjualan harta tersebut, yaitu selisih antara harga penjualan dan biaya yang dikeluarkan berkenaan dengan penjualan tersebut dan atau penggantian asuransinya, dibukukan sebagai penghasilan pada tahun terjadinya penjualan atau tahun diterimanya penggantian asuransi, dan nilai sisa buku dari harta tersebut dibebankan sebagai kerugian dalam tahun pajak yang bersangkutan. Dalam hal penggantian asuransi yang diterima jumlahnya baru dapat diketahui dengan pasti pada masa kemudian, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak agar jumlah sebesar kerugian tersebut dapat dibebankan dalam tahun penggantian asuransi tersebut. Ayat (10) Menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8), dalam hal pengalihan harta berwujud yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, nilai sisa bukunya tidak boleh dibebankan sebagai kerugian oleh pihak yang mengalihkan. Ayat (11) Dalam rangka memberikan keseragaman kepada Wajib Pajak untuk melakukan penyusutan, Menteri Keuangan diberi wewenang menetapkan jenis-jenis harta yang termasuk dalam setiap kelompok dan masa manfaat yang harus diikuti oleh Wajib Pajak. Angka 10 Pasal 11A Ayat (1) Harga perolehan harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya termasuk biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, dan muhibah (goodwill) yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun diamortisasi dengan metode:
Khusus untuk amortisasi harta tak berwujud yang menggunakan metode saldo menurun, pada akhir masa manfaat nilai sisa buku harta tak berwujud atau hak-hak tersebut diamortisasi sekaligus. Ayat (1a) Amortisasi dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran sehingga amortisasi pada tahun pertama dihitung secara prorata. Dalam rangka menyesuaikan dengan karakteristik bidang-bidang usaha tertentu perlu diberikan pengaturan tersendiri untuk amortisasi yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan. Ayat (2) Penentuan masa manfaat dan tarif amortisasi atas pengeluaran harta tak berwujud dimaksudkan untuk memberikan keseragaman bagi Wajib Pajak dalam melakukan amortisasi. Wajib Pajak dapat melakukan amortisasi sesuai dengan metode yang dipilihnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan masa manfaat yang sebenarnya dari tiap harta tak berwujud. Tarif amortisasi yang diterapkan didasarkan pada kelompok masa manfaat sebagaimana yang diatur dalam ketentuan ini. Untuk harta tidak berwujud yang masa manfaatnya tidak tercantum pada kelompok masa manfaat yang ada, maka Wajib Pajak menggunakan masa manfaat yang terdekat. Misalnya harta tak berwujud dengan masa manfaat yang sebenarnya 6 (enam) tahun dapat menggunakan kelompok masa manfaat 4 (empat) tahun atau 8 (delapan) tahun. Dalam hal masa manfaat yang sebenarnya 5 (lima) tahun, maka harta tak berwujud tersebut diamortisasi dengan menggunakan kelompok masa manfaat 4 (empat) tahun. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Metode satuan produksi dilakukan dengan menerapkan persentase tarif amortisasi yang besarnya setiap tahun sama dengan persentase perbandingan antara realisasi penambangan minyak dan gas bumi pada tahun yang bersangkutan dengan taksiran jumlah seluruh kandungan minyak dan gas bumi di lokasi tersebut yang dapat diproduksi. Apabila ternyata jumlah produksi yang sebenarnya lebih kecil dari yang diperkirakan, sehingga masih terdapat sisa pengeluaran untuk memperoleh hak atau pengeluaran lain, maka atas sisa pengeluaran tersebut boleh dibebankan sekaligus dalam tahun pajak yang bersangkutan. Ayat (5) Pengeluaran untuk memperoleh hak penambangan selain minyak dan gas bumi, hak pengusahaan hutan, dan hak pengusahaan sumber alam serta hasil alam lainnya seperti hak pengusahaan hasil laut diamortisasi berdasarkan metode satuan produksi dengan jumlah paling tinggi 20% (dua puluh persen) setahun. Contoh: Pengeluaran untuk memperoleh hak pengusahaan hutan, yang mempunyai potensi 10.000.000 (sepuluh juta) ton kayu, sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) diamortisasi sesuai dengan persentase satuan produksi yang direalisasikan dalam tahun yang bersangkutan. Jika dalam 1 (satu) tahun pajak ternyata jumlah produksi mencapai 3.000.000 (tiga juta) ton yang berarti 30% (tiga puluh persen) dari potensi yang tersedia, walaupun jumlah produksi pada tahun tersebut mencapai 30% (tiga puluh persen) dari jumlah potensi yang tersedia, besarnya amortisasi yang diperkenankan untuk dikurangkan dari penghasilan bruto pada tahun tersebut adalah 20% (dua puluh persen) dari pengeluaran atau Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Ayat (6) Dalam pengertian pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial, adalah biaya-biaya yang dikeluarkan sebelum operasi komersial, misalnya biaya studi kelayakan dan biaya produksi percobaan tetapi tidak termasuk biaya-biaya operasional yang sifatnya rutin, seperti gaji pegawai, biaya rekening listrik dan telepon, dan biaya kantor lainnya. Untuk pengeluaran operasional yang rutin ini tidak boleh dikapitalisasi tetapi dibebankan sekaligus pada tahun pengeluaran. Ayat (7) Contoh: PT X mengeluarkan biaya untuk memperoleh hak penambangan minyak dan gas bumi di suatu lokasi sebesar Rp500.000.000,00. Taksiran jumlah kandungan minyak di daerah tersebut adalah sebanyak 200.000.000 (dua ratus juta) barel. Setelah produksi minyak dan gas bumi mencapai 100.000.000 (seratus juta) barel, PT X menjual hak penambangan tersebut kepada pihak lain dengan harga sebesar Rp300.000.000,00. Penghitungan penghasilan dan kerugian dari penjualan hak tersebut adalah sebagai berikut:
Dengan demikian jumlah nilai sisa buku sebesar Rp 250.000.000,00 dibebankan sebagai kerugian dan jumlah sebesar Rp300.000.000,00 dibukukan sebagai penghasilan. Ayat (8) Cukup jelas. Angka 11 Pasal 14 Informasi yang benar dan lengkap tentang penghasilan Wajib Pajak sangat penting untuk dapat mengenakan pajak yang adil dan wajar sesuai dengan kemampuan ekonomis Wajib Pajak. Untuk dapat menyajikan informasi dimaksud, Wajib Pajak harus menyelenggarakan pembukuan. Namun, disadari bahwa tidak semua Wajib Pajak mampu menyelenggarakan pembukuan. Semua Wajib Pajak badan dan bentuk usaha tetap diwajibkan menyelenggarakan pembukuan. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran bruto tertentu tidak diwajibkan untuk menyelenggarakan pembukuan. Untuk memberikan kemudahan dalam menghitung besarnya penghasilan neto bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto tertentu, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan norma penghitungan. Ayat (1) Norma Penghitungan adalah pedoman untuk menentukan besarnya penghasilan neto yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dan disempurnakan terus-menerus. Penggunaan Norma Penghitungan tersebut pada dasarnya dilakukan dalam hal-hal:
Norma Penghitungan disusun sedemikian rupa berdasarkan hasil penelitian atau data lain, dan dengan memperhatikan kewajaran. Norma Penghitungan akan sangat membantu Wajib Pajak yang belum mampu menyelenggarakan pembukuan untuk menghitung penghasilan neto. Ayat (2) Norma Penghitungan Penghasilan Neto hanya boleh digunakan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya kurang dari jumlah Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah). Untuk dapat menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto tersebut, Wajib Pajak orang pribadi harus memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan. Ayat (3) Wajib Pajak orang pribadi yang menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto tersebut wajib menyelenggarakan pencatatan tentang peredaran brutonya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan. Pencatatan tersebut dimaksudkan untuk memudahkan penerapan norma dalam menghitung penghasilan neto. Ayat (4) Apabila Wajib Pajak orang pribadi yang berhak bermaksud untuk menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, tetapi tidak memberitahukannya kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu yang ditentukan, Wajib Pajak tersebut dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan. Ayat (5) Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan, wajib menyelenggarakan pencatatan, atau dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan, tetapi:
sehingga mengakibatkan peredaran bruto dan penghasilan neto yang sebenarnya tidak diketahui maka peredaran bruto Wajib Pajak yang bersangkutan dihitung dengan cara lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan dan penghasilan netonya dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Menteri Keuangan dapat menyesuaikan besarnya batas peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan memerhatikan perkembangan ekonomi dan kemampuan masyarakat Wajib Pajak untuk menyelenggarakan pembukuan. Angka 12 Pasal 16 Penghasilan Kena Pajak merupakan dasar penghitungan untuk menentukan besarnya Pajak Penghasilan yang terutang. Dalam Undang-Undang ini dikenal dua golongan Wajib Pajak, yaitu Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri. Bagi Wajib Pajak dalam negeri pada dasarnya terdapat dua cara untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak, yaitu penghitungan dengan cara biasa dan penghitungan dengan menggunakan Norma Penghitungan. Di samping itu terdapat cara penghitungan dengan mempergunakan Norma Penghitungan Khusus, yang diperuntukkan bagi Wajib Pajak tertentu yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Bagi Wajib Pajak luar negeri penentuan besarnya Penghasilan Kena Pajak dibedakan antara:
Ayat (1) Bagi Wajib Pajak dalam negeri yang menyelenggarakan pembukuan, Penghasilan Kena Pajaknya dihitung dengan menggunakan cara penghitungan biasa dengan contoh sebagai berikut.
Ayat (2) Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang berhak untuk tidak menyelenggarakan pembukuan, Penghasilan Kena Pajaknya dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dengan contoh sebagai berikut.
Ayat (3) Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, cara penghitungan Penghasilan Kena Pajaknya pada dasarnya sama dengan cara penghitungan Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak badan dalam negeri. Karena bentuk usaha tetap berkewajiban untuk menyelenggarakan pembukuan, Penghasilan Kena Pajaknya dihitung dengan cara penghitungan biasa. Contoh:
Ayat (4) Contoh: Orang pribadi tidak kawin yang kewajiban pajak subjektifnya sebagai subjek pajak dalam negeri adalah 3 (tiga) bulan dan dalam jangka waktu tersebut memperoleh penghasilan sebesar Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) maka penghitungan Penghasilan Kena Pajaknya adalah sebagai berikut.
Angka 13 Pasal 17 Ayat (1) Huruf a Contoh penghitungan pajak yang terutang untuk Wajib Pajak orang pribadi: Jumlah Penghasilan Kena Pajak Rp 600.000.000,00. Pajak Penghasilan yang terutang:
Huruf b Contoh penghitungan pajak yang terutang untuk Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap: Jumlah Penghasilan Kena Pajak Rp1.250.000.000,00 Pajak Penghasilan yang terutang: 28% x Rp1.250.000.000,00 = Rp350.000.000,00 Ayat (2) Perubahan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat ini akan diberlakukan secara nasional dimulai per 1 Januari, diumumkan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sebelum tarif baru itu berlaku efektif, serta dikemukakan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk dibahas dalam rangka penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Ayat (2a) Cukup jelas. Ayat (2b) Cukup jelas. Ayat (2c) Cukup jelas. Ayat (2d) Cukup jelas. Ayat (3) Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tersebut akan disesuaikan dengan faktor penyesuaian, antara lain tingkat inflasi, yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. Ayat (4) Contoh: Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 5.050.900,00 untuk penerapan tarif dibulatkan ke bawah menjadi Rp 5.050.000,00. Ayat (5) dan ayat (6) Contoh: Penghasilan Kena Pajak setahun (dihitung sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 16 ayat (4)): Rp 584.160.000,00 Pajak Penghasilan setahun:
Pajak Penghasilan yang terutang dalam bagian tahun pajak (3 bulan) ((3 x 30) : 360) x Rp120.248.000,00 = Rp 30.062.000,00 Ayat (7) Ketentuan pada ayat ini memberi wewenang kepada Pemerintah untuk menentukan tarif pajak tersendiri yang dapat bersifat final atas jenis penghasilan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak lebih tinggi dari tarif pajak tertinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Penentuan tarif pajak tersendiri tersebut didasarkan atas pertimbangan kesederhanaan, keadilan, dan pemerataan dalam pengenaan pajak. Angka 14 Pasal 18 Ayat (1) Undang-Undang ini memberi wewenang kepada Menteri Keuangan untuk memberi keputusan tentang besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan yang dapat dibenarkan untuk keperluan penghitungan pajak. Dalam dunia usaha terdapat tingkat perbandingan tertentu yang wajar mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal (debt to equity ratio). Apabila perbandingan antara utang dan modal sangat besar melebihi batas-batas kewajaran, pada umumnya perusahaan tersebut dalam keadaan tidak sehat. Dalam hal demikian, untuk penghitungan Penghasilan Kena Pajak, Undang-Undang ini menentukan adanya modal terselubung. Istilah modal di sini menunjuk kepada istilah atau pengertian ekuitas menurut standar akuntansi, sedangkan yang dimaksud dengan “kewajaran atau kelaziman usaha” adalah adat kebiasaan atau praktik menjalankan usaha atau melakukan kegiatan yang sehat dalam dunia usaha. Ayat (2) Dengan makin berkembangnya ekonomi dan perdagangan internasional sejalan dengan era globalisasi dapat terjadi bahwa Wajib Pajak dalam negeri menanamkan modalnya di luar negeri. Untuk mengurangi kemungkinan penghindaran pajak, terhadap penanaman modal di luar negeri selain pada badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, Menteri Keuangan berwenang untuk menentukan saat diperolehnya dividen. Contoh: PT A dan PT B masing-masing memiliki saham sebesar 40% dan 20% pada X Ltd. yang bertempat kedudukan di negara Q. Saham X Ltd. tersebut tidak diperdagangkan di bursa efek. Dalam tahun 2009 X Ltd. memperoleh laba setelah pajak sejumlah Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Dalam hal demikian, Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen dan dasar penghitungannya. Ayat (3) Maksud diadakannya ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya penghindaran pajak yang dapat terjadi karena adanya hubungan istimewa. Apabila terdapat hubungan istimewa, kemungkinan dapat terjadi penghasilan dilaporkan kurang dari semestinya ataupun pembebanan biaya melebihi dari yang seharusnya. Dalam hal demikian, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan/atau biaya sesuai dengan keadaan seandainya di antara para Wajib Pajak tersebut tidak terdapat hubungan istimewa. Dalam menentukan kembali jumlah penghasilan dan/atau biaya tersebut digunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen (comparable uncontrolled price method), metode harga penjualan kembali (resale price method), metode biaya-plus (cost-plus method), atau metode lainnya seperti metode pembagian laba (profit split method) dan metode laba bersih transaksional (transactional net margin method). Demikian pula kemungkinan terdapat penyertaan modal secara terselubung, dengan menyatakan penyertaan modal tersebut sebagai utang maka Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan utang tersebut sebagai modal perusahaan. Penentuan tersebut dapat dilakukan, misalnya melalui indikasi mengenai perbandingan antara modal dan utang yang lazim terjadi di antara para pihak yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa atau berdasar data atau indikasi lainnya. Dengan demikian, bunga yang dibayarkan sehubungan dengan utang yang dianggap sebagai penyertaan modal itu tidak diperbolehkan untuk dikurangkan, sedangkan bagi pemegang saham yang menerima atau memperoleh bunga tersebut dianggap sebagai dividen yang dikenai pajak. Ayat (3a) Kesepakatan harga transfer (Advance Pricing Agreement/APA) adalah kesepakatan antara Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak mengenai harga jual wajar produk yang dihasilkannya kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa (related parties) dengannya. Tujuan diadakannya APA adalah untuk mengurangi terjadinya praktik penyalahgunaan transfer pricing oleh perusahaan multi nasional. Persetujuan antara Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak tersebut dapat mencakup beberapa hal, antara lain harga jual produk yang dihasilkan, dan jumlah royalti dan lain-lain, tergantung pada kesepakatan. Keuntungan dari APA selain memberikan kepastian hukum dan kemudahan penghitungan pajak, Fiskus tidak perlu melakukan koreksi atas harga jual dan keuntungan produk yang dijual Wajib Pajak kepada perusahaan dalam grup yang sama. APA dapat bersifat unilateral, yaitu merupakan kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak atau bilateral, yaitu kesepakatan Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas perpajakan negara lain yang menyangkut Wajib Pajak yang berada di wilayah yurisdiksinya. Ayat (3b) Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah penghindaran pajak oleh Wajib Pajak yang melakukan pembelian saham/penyertaan pada suatu perusahaan Wajib Pajak dalam negeri melalui perusahaan luar negeri yang didirikan khusus untuk tujuan tersebut (special purpose company). Ayat (3c) Contoh: X Ltd. yang didirikan dan berkedudukan di negara A, sebuah negara yang memberikan perlindungan pajak (tax haven country), memiliki 95% (sembilan puluh lima persen) saham PT X yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia. X Ltd. ini adalah suatu perusahaan antara (conduit company) yang didirikan dan dimiliki sepenuhnya oleh Y Co., sebuah perusahaan di negara B, dengan tujuan sebagai perusahaan antara dalam kepemilikannya atas mayoritas saham PT X. Apabila Y Co. menjual seluruh kepemilikannya atas saham X Ltd. kepada PT Z yang merupakan Wajib Pajak dalam negeri, secara legal formal transaksi di atas merupakan pengalihan saham perusahaan luar negeri oleh Wajib Pajak luar negeri. Namun, pada hakikatnya transaksi ini merupakan pengalihan kepemilikan (saham) perseroan Wajib Pajak dalam negeri oleh Wajib Pajak luar negeri sehingga atas penghasilan dari pengalihan ini terutang Pajak Penghasilan. Ayat (3d) Cukup jelas. Ayat (3e) Cukup jelas. Ayat (4) Hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat terjadi karena ketergantungan atau keterikatan satu dengan yang lain yang disebabkan:
Selain karena hal-hal tersebut, hubungan istimewa di antara Wajib Pajak orang pribadi dapat pula terjadi karena adanya hubungan darah atau perkawinan. Huruf a Hubungan istimewa dianggap ada apabila terdapat hubungan kepemilikan yang berupa penyertaan modal sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih secara langsung ataupun tidak langsung. Misalnya, PT A mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT B. Pemilikan saham oleh PT A merupakan penyertaan langsung. Selanjutnya, apabila PT B mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT C, PT A sebagai pemegang saham PT B secara tidak langsung mempunyai penyertaan pada PT C sebesar 25% (dua puluh lima persen). Dalam hal demikian, antara PT A, PT B, dan PT C dianggap terdapat hubungan istimewa. Apabila PT A juga memiliki 25% (dua puluh lima persen) saham PT D, antara PT B, PT C, dan PT D dianggap terdapat hubungan istimewa. Hubungan kepemilikan seperti di atas dapat juga terjadi antara orang pribadi dan badan. Huruf b Hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat juga terjadi karena penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi walaupun tidak terdapat hubungan kepemilikan. Hubungan istimewa dianggap ada apabila satu atau lebih perusahaan berada di bawah penguasaan yang sama. Demikian juga hubungan di antara beberapa perusahaan yang berada dalam penguasaan yang sama tersebut. Huruf c Yang dimaksud dengan “hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat” adalah ayah, ibu, dan anak, sedangkan “hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan ke samping satu derajat” adalah saudara. Yang dimaksud dengan “keluarga semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat” adalah mertua dan anak tiri, sedangkan “hubungan keluarga semenda dalam garis keturunan ke samping satu derajat” adalah ipar. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 15 Pasal 19 Ayat (1) Adanya perkembangan harga yang mencolok atau perubahan kebijakan di bidang moneter dapat menyebabkan kekurangserasian antara biaya dan penghasilan, yang dapat mengakibatkan timbulnya beban pajak yang kurang wajar. Dalam keadaan demikian, Menteri Keuangan diberi wewenang menetapkan peraturan tentang penilaian kembali aktiva tetap (revaluasi) atau indeksasi biaya dan penghasilan. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 16 Pasal 21 Ayat (1) Ketentuan ini mengatur tentang pembayaran pajak dalam tahun berjalan melalui pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan. Pihak yang wajib melakukan pemotongan pajak adalah pemberi kerja, bendahara pemerintah, dana pensiun, badan, perusahaan, dan penyelenggara kegiatan. Huruf a Pemberi kerja yang wajib melakukan pemotongan pajak adalah orang pribadi ataupun badan yang merupakan induk, cabang, perwakilan, atau unit perusahaan yang membayar atau terutang gaji, upah, tunjangan, honorarium, dan pembayaran lain dengan nama apa pun kepada pengurus, pegawai atau bukan pegawai sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan. Dalam pengertian pemberi kerja termasuk juga organisasi internasional yang tidak dikecualikan dari kewajiban memotong pajak. Yang dimaksud dengan “pembayaran lain” adalah pembayaran dengan nama apa pun selain gaji, upah, tunjangan, honorarium, dan pembayaran lain, seperti bonus, gratifikasi, dan tantiem. Yang dimaksud dengan “bukan pegawai” adalah orang pribadi yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pemberi kerja sehubungan dengan ikatan kerja tidak tetap, misalnya artis yang menerima atau memperoleh honorarium dari pemberi kerja. Huruf b Bendahara pemerintah termasuk bendahara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga negara lainnya, dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri yang membayar gaji, upah, tunjangan, honorarium, dan pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan. Yang termasuk juga dalam pengertian bendahara adalah pemegang kas dan pejabat lain yang menjalankan fungsi yang sama. Huruf c Yang termasuk “badan lain”, misalnya, adalah badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja yang membayarkan uang pensiun, tunjangan hari tua, tabungan hari tua, dan pembayaran lain yang sejenis dengan nama apa pun. Yang termasuk dalam pengertian uang pensiun atau pembayaran lain adalah tunjangan-tunjangan baik yang dibayarkan secara berkala ataupun tidak yang dibayarkan kepada penerima pensiun, penerima tunjangan hari tua, dan penerima tabungan hari tua. Huruf d Yang termasuk dalam pengertian badan adalah organisasi internasional yang tidak dikecualikan berdasarkan ayat (2). Yang termasuk tenaga ahli orang pribadi, misalnya, adalah dokter, pengacara, dan akuntan, yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya. Huruf e Penyelenggara kegiatan wajib memotong pajak atas pembayaran hadiah atau penghargaan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan. Dalam pengertian penyelenggara kegiatan termasuk antara lain badan, badan pemerintah, organisasi termasuk organisasi internasional, perkumpulan, orang pribadi, serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan. Kegiatan yang diselenggarakan, misalnya kegiatan olahraga, keagamaan, dan kesenian. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Bagi pegawai tetap besarnya penghasilan yang dipotong pajak adalah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya jabatan, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena Pajak. Dalam pengertian iuran pensiun termasuk juga iuran tunjangan hari tua atau tabungan hari tua yang dibayar oleh pegawai. Bagi pensiunan besarnya penghasilan yang dipotong pajak adalah jumlah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya pensiun dan Penghasilan Tidak Kena Pajak. Dalam pengertian pensiunan termasuk juga penerima tunjangan hari tua atau tabungan hari tua. Ayat (4) Besarnya penghasilan yang dipotong pajak bagi pegawai harian, mingguan, serta pegawai tidak tetap lainnya adalah jumlah penghasilan bruto dikurangi dengan bagian penghasilan yang tidak dikenai pemotongan yang besarnya ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan, dengan memerhatikan Penghasilan Tidak Kena Pajak yang berlaku. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (5a) Kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dapat dibuktikan oleh Wajib Pajak, antara lain, dengan cara menunjukkan kartu NPWP. Contoh: Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 75.000.000,00 Pajak Penghasilan yang harus dipotong bagi Wajib Pajak yang memiliki NPWP adalah:
Pajak Penghasilan yang harus dipotong jika Wajib Pajak tidak memiliki NPWP adalah:
Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Angka 17 Pasal 22 Ayat (1) Berdasarkan ketentuan ini, yang dapat ditunjuk sebagai pemungut pajak adalah:
Dalam pelaksanaan ketentuan ini Menteri Keuangan mempertimbangkan, antara lain:
Pemungutan pajak berdasarkan ketentuan ini dimaksudkan untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengumpulan dana melalui sistem pembayaran pajak dan untuk tujuan kesederhanaan, kemudahan, dan pengenaan pajak yang tepat waktu. Sehubungan dengan hal tersebut, pemungutan pajak berdasarkan ketentuan ini dapat bersifat final. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak dapat dibuktikan oleh Wajib Pajak, antara lain, dengan cara menunjukkan kartu Nomor Pokok Wajib Pajak. Angka 18 Pasal 23 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (1a) Kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak dapat dibuktikan oleh Wajib Pajak, antara lain, dengan cara menunjukkan kartu Nomor Pokok Wajib Pajak. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 19 Pasal 24 Pada dasarnya Wajib Pajak dalam negeri terutang pajak atas seluruh penghasilan, termasuk penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri. Untuk meringankan beban pajak ganda yang dapat terjadi karena pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri, ketentuan ini mengatur tentang perhitungan besarnya pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang atas seluruh penghasilan Wajib Pajak dalam negeri. Ayat (1) Pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang di Indonesia hanyalah pajak yang langsung dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak. Contoh: PT A di Indonesia merupakan pemegang saham tunggal dari Z Inc. di Negara X. Z Inc. tersebut dalam tahun 1995 memperoleh keuntungan sebesar US$100,000.00. Pajak Penghasilan yang berlaku di negara X adalah 48% dan Pajak Dividen adalah 38%. Penghitungan pajak atas dividen tersebut adalah sebagai berikut:
Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan terhadap seluruh Pajak Penghasilan yang terutang atas PT A adalah pajak yang langsung dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri, dalam contoh di atas yaitu jumlah sebesar US$19,760.00. Pajak Penghasilan (Corporate income tax) atas Z Inc. sebesar US$48,000.00 tidak dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang atas PT A, karena pajak sebesar US$48,000.00 tersebut tidak dikenakan langsung atas penghasilan yang diterima atau diperoleh PT A dari luar negeri, melainkan pajak yang dikenakan atas keuntungan Z Inc. di negara X. Ayat (2) Untuk memberikan perlakuan pemajakan yang sama antara penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri dan penghasilan yang diterima atau diperoleh di Indonesia, maka besarnya pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang di Indonesia tetapi tidak boleh melebihi besarnya pajak yang dihitung berdasarkan Undang-undang ini. Cara penghitungan besarnya pajak yang dapat dikreditkan ditetapkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan wewenang sebagaimana diatur pada ayat (6). Ayat (3) dan (4) Dalam perhitungan kredit pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang menurut Undang-Undang ini, penentuan sumber penghasilan menjadi sangat penting. Selanjutnya, ketentuan ini mengatur tentang penentuan sumber penghasilan untuk memperhitungkan kredit pajak luar negeri tersebut. Mengingat Undang-Undang ini menganut pengertian penghasilan yang luas, maka sesuai dengan ketentuan pada ayat (4) penentuan sumber dari penghasilan selain yang tersebut pada ayat (3) dipergunakan prinsip yang sama dengan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tersebut, misalnya A sebagai Wajib Pajak dalam negeri memiliki sebuah rumah di Singapura dan dalam tahun 1995 rumah tersebut dijual. Keuntungan yang diperoleh dari penjualan rumah tersebut merupakan penghasilan yang bersumber di Singapura karena rumah tersebut terletak di Singapura. Ayat (5) Apabila terjadi pengurangan atau pengembalian pajak atas penghasilan yang dibayar di luar negeri, sehingga besarnya pajak yang dapat dikreditkan di Indonesia menjadi lebih kecil dari besarnya perhitungan semula, maka selisihnya ditambahkan pada Pajak Penghasilan yang terutang menurut Undang-undang ini. Misalnya, dalam tahun 1996, Wajib Pajak mendapat pengurangan pajak atas penghasilan luar negeri tahun pajak 1995 sebesar Rp5.000.000,00 yang semula telah termasuk dalam jumlah pajak yang dikreditkan terhadap pajak yang terutang untuk tahun pajak 1995, maka jumlah sebesar Rp5.000.000,00 tersebut ditambahkan pada Pajak Penghasilan yang terutang dalam tahun pajak 1996. Ayat (6) Cukup jelas. Angka 20 Pasal 25 Ketentuan ini mengatur tentang penghitungan besarnya angsuran bulanan yang harus dibayar oleh Wajib Pajak sendiri dalam tahun berjalan. Ayat (1) Contoh 1: Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri setiap bulan untuk tahun 2010 adalah sebesar Rp1.250.000,00 (Rp15.000.000,00 dibagi 12). Contoh 2: Apabila Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam contoh di atas berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh untuk bagian tahun pajak yang meliputi masa 6 (enam) bulan dalam tahun 2009, besarnya angsuran bulanan yang harus dibayar sendiri setiap bulan dalam tahun 2010 adalah sebesar Rp2.500.000,00 (Rp15.000.000,00 dibagi 6). Ayat (2) Mengingat batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak orang pribadi adalah akhir bulan ketiga tahun pajak berikutnya dan bagi Wajib Pajak badan adalah akhir bulan keempat tahun pajak berikutnya, besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk bulan-bulan sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan belum dapat dihitung sesuai dengan ketentuan pada ayat (1). Berdasarkan ketentuan ini, besarnya angsuran pajak untuk bulan-bulan sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan adalah sama dengan angsuran pajak untuk bulan terakhir dari tahun pajak yang lalu. Contoh: Apabila Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan oleh Wajib Pajak orang pribadi pada bulan Februari 2010, besarnya angsuran pajak yang harus dibayar Wajib Pajak tersebut untuk bulan Januari 2010 adalah sebesar angsuran pajak bulan Desember 2009, misalnya sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). Apabila dalam bulan September 2009 diterbitkan keputusan pengurangan angsuran pajak menjadi nihil sehingga angsuran pajak sejak bulan Oktober sampai dengan Desember 2009 menjadi nihil, besarnya angsuran pajak yang harus dibayar Wajib Pajak untuk bulan Januari 2010 tetap sama dengan angsuran bulan Desember 2009, yaitu nihil. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Apabila dalam tahun berjalan diterbitkan surat ketetapan pajak untuk tahun pajak yang lalu, angsuran pajak dihitung berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut. Perubahan angsuran pajak tersebut berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan diterbitkannya surat ketetapan pajak. Contoh: Berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak 2009 yang disampaikan Wajib Pajak dalam bulan Februari 2010, perhitungan besarnya angsuran pajak yang harus dibayar adalah sebesar Rp1.250.000,00 (satu juta dua ratus lima puluh ribu rupiah). Dalam bulan Juni 2010 telah diterbitkan surat ketetapan pajak tahun pajak 2009 yang menghasilkan besarnya angsuran pajak setiap bulan sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah). Berdasarkan ketentuan dalam ayat ini, besarnya angsuran pajak mulai bulan Juli 2010 adalah sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah). Penetapan besarnya angsuran pajak berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut bisa sama, lebih besar, atau lebih kecil dari angsuran pajak sebelumnya berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Pada dasarnya besarnya pembayaran angsuran pajak oleh Wajib Pajak sendiri dalam tahun berjalan sedapat mungkin diupayakan mendekati jumlah pajak yang akan terutang pada akhir tahun. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan ini dalam hal-hal tertentu Direktur Jenderal Pajak diberikan wewenang untuk menyesuaikan perhitungan besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dalam tahun berjalan apabila terdapat kompensasi kerugian; Wajib Pajak menerima atau memperoleh penghasilan tidak teratur; atau terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak. Contoh 1:
Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 25 tahun 2010 adalah: Penghasilan yang dipakai dasar penghitungan angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 = Rp120.000.000,00 – Rp30.000.000,00 = Rp90.000.000,00. Pajak Penghasilan yang terutang: 28% x Rp90.000.000,00 = Rp25.200.000,00 Apabila pada tahun 2009 tidak ada Pajak Penghasilan yang dipotong atau dipungut oleh pihak lain dan pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 24, besarnya angsuran pajak bulanan PT X tahun 2010 = 1/12 x Rp25.200.000,00= Rp2.100.000,00. Contoh 2: Dalam tahun 2009, penghasilan teratur Wajib Pajak A dari usaha dagang Rp48.000.000,00 (empat puluh delapan juta rupiah) dan penghasilan tidak teratur sebesar Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). Penghasilan yang dipakai sebagai dasar penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 25 dari Wajib Pajak A pada tahun 2010 adalah hanya dari penghasilan teratur tersebut. Contoh 3: Perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak dapat terjadi karena penurunan atau peningkatan usaha. PT B yang bergerak di bidang produksi benang dalam tahun 2009 membayar angsuran bulanan sebesar Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). Dalam bulan Juni 2009 pabrik milik PT B terbakar. Oleh karena itu, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak mulai bulan Juli 2009 angsuran bulanan PT B dapat disesuaikan menjadi lebih kecil dari Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). Sebaliknya, apabila PT B mengalami peningkatan usaha, misalnya adanya peningkatan penjualan dan diperkirakan Penghasilan Kena Pajaknya akan lebih besar dibandingkan dengan tahun sebelumnya, kewajiban angsuran bulanan PT B dapat disesuaikan oleh Direktur Jenderal Pajak. Ayat (7) Pada prinsipnya penghitungan besarnya angsuran bulanan dalam tahun berjalan didasarkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu. Namun, ketentuan ini memberi kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk menetapkan dasar penghitungan besarnya angsuran bulanan selain berdasarkan prinsip tersebut di atas. Hal ini dimaksudkan untuk lebih mendekati kewajaran perhitungan besarnya angsuran pajak karena didasarkan kepada data terkini kegiatan usaha perusahaan. Huruf a Bagi Wajib Pajak baru yang mulai menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dalam tahun pajak berjalan perlu diatur perhitungan besarnya angsuran, karena Wajib Pajak belum pernah memasukkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, penentuan besarnya angsuran pajak didasarkan atas kenyataan usaha atau kegiatan Wajib Pajak. Huruf b Bagi Wajib Pajak yang bergerak dalam bidang perbankan, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah, serta Wajib Pajak masuk bursa dan Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan diharuskan membuat laporan keuangan berkala perlu diatur perhitungan besarnya angsuran tersendiri karena terdapat kewajiban menyampaikan laporan yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan dalam suatu periode tertentu kepada instansi Pemerintah yang dapat dipakai sebagai dasar penghitungan untuk menentukan besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan. Huruf c Bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu, yaitu Wajib Pajak orang pribadi yang mempunyai 1 (satu) atau lebih tempat usaha, besarnya angsuran pajak paling tinggi sebesar 0,75% (nol koma tujuh lima persen) dari peredaran bruto. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (8a) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Angka 21 Pasal 26 Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri dari Indonesia, Undang-Undang ini menganut dua sistem pengenaan pajak, yaitu pemenuhan sendiri kewajiban perpajakannya bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dan pemotongan oleh pihak yang wajib membayar bagi Wajib Pajak luar negeri lainnya. Ketentuan ini mengatur tentang pemotongan atas penghasilan yang bersumber di Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap. Ayat (1) Pemotongan pajak berdasarkan ketentuan ini wajib dilakukan oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya yang melakukan pembayaran kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia dengan tarif sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto. Jenis-jenis penghasilan yang wajib dilakukan pemotongan dapat digolongkan dalam:
Sesuai dengan ketentuan ini, misalnya suatu badan subjek pajak dalam negeri membayarkan royalti sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) kepada Wajib Pajak luar negeri, subjek pajak dalam negeri tersebut berkewajiban untuk memotong Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen) dari Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Sebagai contoh lain, seorang atlet dari luar negeri yang ikut mengambil bagian dalam perlombaan lari maraton di Indonesia kemudian merebut hadiah uang maka atas hadiah tersebut dikenai pemotongan Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen). Ayat (1a) Negara domisili dari Wajib Pajak luar negeri selain yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia yang menerima penghasilan dari Indonesia ditentukan berdasarkan tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak yang sebenarnya menerima manfaat dari penghasilan tersebut (beneficial owner). Oleh karena itu, negara domisili tidak hanya ditentukan berdasarkan Surat Keterangan Domisili, tetapi juga tempat tinggal atau tempat kedudukan dari penerima manfaat dari penghasilan dimaksud. Dalam hal penerima manfaat adalah orang pribadi, negara domisilinya adalah negara tempat orang pribadi tersebut bertempat tinggal atau berada, sedangkan apabila penerima manfaat adalah badan, negara domisilinya adalah negara tempat pemilik atau lebih dari 50% (lima puluh persen) pemegang saham baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama berkedudukan atau efektif manajemennya berada. Ayat (2) Ketentuan ini mengatur tentang pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri yang bersumber di Indonesia, selain dari penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta, dan premi asuransi, termasuk premi reasuransi. Atas penghasilan tersebut dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto dan bersifat final. Menteri Keuangan diberikan wewenang untuk menetapkan besarnya perkiraan penghasilan neto dimaksud, serta hal-hal lain dalam rangka pelaksanaan pemotongan pajak tersebut. Ketentuan ini tidak diterapkan dalam hal Wajib Pajak luar negeri tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia atau apabila penghasilan dari penjualan harta tersebut telah dikenai pajak berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2). Ayat (2a) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari bentuk usaha tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen). Contoh:
Pajak Penghasilan Pasal 26 yang terutang 20% x Rp12.600.000.000 = Rp2.520.000.000,00 Apabila penghasilan setelah pajak sebesar Rp12.600.000.000,00 (dua belas miliar enam ratus juta rupiah) tersebut ditanamkan kembali di Indonesia sesuai dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, atas penghasilan tersebut tidak dipotong pajak. Ayat (5) Pada prinsipnya pemotongan pajak atas Wajib Pajak luar negeri adalah bersifat final, tetapi atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c, dan atas penghasilan Wajib Pajak orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, pemotongan pajaknya tidak bersifat final sehingga potongan pajak tersebut dapat dikreditkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan. Contoh: A sebagai tenaga asing orang pribadi membuat perjanjian kerja dengan PT B sebagai Wajib Pajak dalam negeri untuk bekerja di Indonesia untuk jangka waktu 5 (lima) bulan terhitung mulai tanggal 1 Januari 2009. Pada tanggal 20 April 2009 perjanjian kerja tersebut diperpanjang menjadi 8 (delapan) bulan sehingga akan berakhir pada tanggal 31 Agustus 2009. Jika perjanjian kerja tersebut tidak diperpanjang, status A adalah tetap sebagai Wajib Pajak luar negeri. Dengan diperpanjangnya perjanjian kerja tersebut, status A berubah dari Wajib Pajak luar negeri menjadi Wajib Pajak dalam negeri terhitung sejak tanggal 1 Januari 2009. Selama bulan Januari sampai dengan Maret 2009 atas penghasilan bruto A telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26 oleh PT B. Berdasarkan ketentuan ini, maka untuk menghitung Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan A untuk masa Januari sampai dengan Agustus 2009, Pajak Penghasilan Pasal 26 yang telah dipotong dan disetor PT B atas penghasilan A sampai dengan Maret tersebut, dapat dikreditkan terhadap pajak A sebagai Wajib Pajak dalam negeri. Angka 22 Pasal 29 Ketentuan ini mewajibkan Wajib Pajak untuk melunasi kekurangan pembayaran pajak yang terutang menurut ketentuan Undang-Undang ini sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan dan paling lambat pada batas akhir penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan. Apabila tahun buku sama dengan tahun kalender, kekurangan pajak tersebut wajib dilunasi paling lambat tanggal 31 Maret bagi Wajib Pajak orang pribadi atau 30 April bagi Wajib Pajak badan setelah tahun pajak berakhir, sedangkan apabila tahun buku tidak sama dengan tahun kalender, misalnya dimulai tanggal 1 Juli sampai dengan 30 Juni, kekurangan pajak wajib dilunasi paling lambat tanggal 30 September bagi Wajib Pajak orang pribadi atau 31 Oktober bagi Wajib Pajak badan. Angka 23 Pasal 31A Ayat (1) Salah satu prinsip yang perlu dipegang teguh di dalam Undang- Undang perpajakan adalah diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang hakikatnya sama, dengan berpegang pada ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, setiap kemudahan dalam bidang perpajakan jika benar-benar diperlukan harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar di dalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut. Tujuan diberikannya kemudahan pajak ini adalah untuk mendorong kegiatan investasi langsung di Indonesia baik melalui penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional. Ketentuan ini juga dapat digunakan untuk menampung kemungkinan perjanjian dengan negara-negara lain dalam bidang perdagangan, investasi, dan bidang lainnya. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 24 Pasal 31B Cukup jelas. Angka 25 Pasal 31C Cukup jelas. Angka 26 Pasal 31D Cukup jelas. Pasal 31E Ayat (1) Contoh 1: Peredaran bruto PT Y dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp4.500.000.000,00 (empat miliar lima ratus juta rupiah) dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Penghitungan pajak yang terutang: Seluruh Penghasilan Kena Pajak yang diperoleh dari peredaran bruto tersebut dikenai tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif Pajak Penghasilan badan yang berlaku karena jumlah peredaran bruto PT Y tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah). Pajak Penghasilan yang terutang: (50% x 28%) x Rp500.000.000,00 = Rp70.000.000,00 Contoh 2: Peredaran bruto PT X dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah) dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang:
Pajak Penghasilan yang terutang:
Ayat (2) Cukup jelas. Angka 27 Pasal 32 Cukup jelas. Angka 28 Pasal 32B Dalam rangka memperluas pasar Obligasi Negara, pemerintah dapat mengenakan tarif khusus yang lebih rendah atau membebaskan pengenaan pajak atas Obligasi Negara yang diperdagangkan di bursa negara lain. Pemerintah hanya dapat mengenakan perlakuan khusus ini sepanjang negara lain tersebut juga memberikan perlakuan yang sama atas obligasi negara lain tersebut yang diperdagangkan di bursa efek di Indonesia. Angka 29 Pasal 35 Dengan peraturan pemerintah diatur lebih lanjut hal-hal yang belum cukup diatur dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang ini, yaitu semua peraturan yang diperlukan agar Undang-Undang ini dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, termasuk pula peraturan peralihan. Pasal II Angka 1 Apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang berakhir tanggal 30 Juni 2001 atau sebelumnya (tidak sama dengan tahun kalender), tahun buku tersebut adalah tahun pajak 2000. Pajak yang terutang dalam tahun tersebut tetap dihitung berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, sedangkan Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir setelah tanggal 30 Juni 2001 wajib menghitung pajaknya mulai tahun pajak 2001 berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Angka 2 Apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang berakhir tanggal 30 Juni 2009 atau sebelumnya (tidak sama dengan tahun kalender), tahun buku tersebut adalah tahun pajak 2008. Pajak yang terutang dalam tahun tersebut tetap dihitung berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, sedangkan Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir setelah tanggal 30 Juni 2009 wajib menghitung pajaknya mulai tahun pajak 2009 berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang ini. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4893 Peraturan Terkait Perubahan Ketiga Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Undang-Undang - 28 TAHUN 2007, Tanggal 17 Juli 2007 Perubahan Ketiga Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan Undang-Undang - 17 TAHUN 2000, Tanggal 2 Agustus 2000 Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991 Undang-Undang - 10 TAHUN 1994, Tanggal 9 Nopember 1994 Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan Undang-Undang - 7 TAHUN 1991, Tanggal 30 Desember 1991 |